Pemulung merupakan salah satu komunitas marginal di Indonesia yang belum juga memperoleh hak hidup yang layak. Hunian, kesehatan, maupun legalitas pekerjaan mereka tak kunjung menjadi perhatian besar bagi pemerintah. Keberadaan mereka sering kali tidak terlihat. Padahal sejatinya, mereka menjadi penopang siklus pengelolaan sampah kota. TPST Bantargebang, tempat pembuangan akhir terbesar di Indonesia, telah menjadi rumah bagi ribuan pemulung yang tidak hanya bekerja, tetapi juga berhuni di lingkungan yang penuh risiko, minim infrastruktur, dan rentan terhadap kebijakan relokasi paksa dari pemerintah yang kerap mengabaikan fakta bahwa mereka berperan besar dalam pengelolaan limbah.
Melalui analisis tapak dan observasi lapangan, pola interaksi sosial, ekonomi, dan spasial mencerminkan prinsip-prinsip rimpang (rhizome). Penelitian ini mensintesiskan teori rhizome dengan Water–Energy–Food–Ecosystem (WEFE) Nexus yang kemudian dikembangkan menjadi metodologi Rhizomic+. Pendekatan ini merupakan kerangka perancangan arsitektur yang bersifat adaptif, regeneratif, dan kontekstual. Konsep ini tidak sekadar membangun fisik, melainkan menguatkan potensi eksisting komunitas untuk berkembang secara organik, melalui tiga fase, mengingat bahwa waktu menjadi komponen penting dalam pembentukan suatu ruang hidup komunitas. Tiga fase tersebut mencakup adapting, growing, dan relocating + regenerating, yang mana juga berfokus pada kebutuhan ketahanan hidup, keterampilan kerja, serta kemampuan pemulung untuk dapat mengelola sampah di luar TPST Bantargebang saat direlokasi. Ketiga fase ini dapat dilangsungkan dengan mengimplementasikan kriteria perancangan asignifying rupture, heterogeneity, multiplicity, connection, cartography dan decalcomania, serta rhizofiltration. Perancangan yang dihasilkan bertujuan mengubah kampung pemulung menjadi tempat transisional untuk mereka berkembang sebagai satu komunitas, sekaligus menjadi prototipe regenerasi kawasan marginal berbasis kekuatan komunitas.
Perpustakaan Digital ITB