Batubara tetap menjadi sumber energi utama global. Di Indonesia, Kalimantan Timur
sebagai produsen terbesar (294 juta ton pada 2021) masih kekurangan studi
devolatilisasi—tahap krusial dalam pembakaran, gasifikasi, dan pirolisis yang
memengaruhi efisiensi dan emisi. Penelitian ini memodelkan devolatilisasi batubara
lignit dari Samarinda (K-1) dan Kutai (K-2) menggunakan Analisis Termogravimetri
(TGA), metode yang mengukur penurunan berat sampel sebagai fungsi suhu untuk
mengevaluasi kinetika dekomposisi termal secara efisien dengan data minimal.
Profil dekomposisi termal diperoleh dari data TGA pada berbagai laju pemanasan (5,
15, 25, 35 °C/min) di atmosfer nitrogen. Hasil dari TGA digunakan untuk
mengevaluasi model devolatilisasi dengan membandingkan metode kinetika isokonversi
(Ozawa-Flynn-Wall/OFW dan Kissinger-Akahira-Sunose/KAS) dengan
Distributed Activation Energy Model (DAEM). Hasil karakterisasi batubara
menunjukkan perbedaan signifikan pada kandungan Sulfur (K-1: 1,00%; K-2: 0,57%)
dan abu (K-1: 5,39%; K-2: 6,12%). Metode kinetika iso-konversi menghasilkan energi
aktivasi (Ea) yang bervariasi dengan derajat konversi (?), tetapi menunjukkan
keterbatasan pada ? > 0,60 dengan nilai Ea negatif. Pendekatan DAEM (3-Gaussian,
3-Weibull, dan hibrida 2-Gaussian+1-Weibull) memberikan hasil lebih akurat (R² >
0,987), mengidentifikasi tiga rezim reaksi: Ea rendah (~110–125 kJ/mol) untuk
penguapan kelembaban dan senyawa oksigenat labil; Ea medium (~180 kJ/mol) untuk
pemutusan ikatan alifatik; serta Ea tinggi (~230–260 kJ/mol) untuk pemecahan
struktur aromatik dan reaksi sekunder.
Model terbaik adalah 3-Gaussian untuk K-1 dan hibrida untuk K-2, dengan K-2
menunjukkan stabilitas termal lebih rendah. Kandungan Sulfur tinggi pada K-1
meningkatkan reaktivitas awal, sementara abu pada K-2 menurunkan Ea medium
melalui efek katalitik. Hasil ini mendukung pengembangan teknologi pembakaran
batubara yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Perpustakaan Digital ITB