digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Implementasi sertifikasi halal bersifat wajib di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dan peraturan turunannya, menjadi tuntutan mendesak bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di sektor pangan. Di Provinsi Jawa Barat—salah satu provinsi terpadat dan paling dinamis secara ekonomi di Indonesia—kewajiban ini menjadi sangat mendesak. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2024 menetapkan bahwa UMK yang bergerak di bidang makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan wajib memiliki sertifikat halal paling lambat tanggal 17 Oktober 2026. Meskipun kebijakan ini memiliki bersifat strategis, implementasi di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan. Jawa Barat memiliki lebih dari 2,18 juta UMK di sektor makanan dan minuman, namun hingga tahun 2024, baru sekitar 600.000 usaha yang berhasil memperoleh sertifikasi halal. Ketimpangan ini mencerminkan kesenjangan serius antara kebijakan dan praktik di lapangan, diperburuk oleh belum konsistennya pendanaan pemerintah daerah, lemahnya koordinasi kelembagaan, dan keterbatasan kapasitas pelaku UMK untuk mengakses proses sertifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga fokus utama: (1) mengidentifikasi dan memvalidasi hambatan pra-sertifikasi utama yang menghambat adopsi sertifikasi halal di kalangan UMK pangan di Jawa Barat, (2) memetakan prioritas hambatan- hambatan tersebut melalui pendekatan analisis terstruktur, dan (3) merumuskan solusi strategis yang relevan secara lokal melalui studi perbandingan terhadap program sertifikasi halal yang berhasil diterapkan di Malaysia. Studi ini berupaya mengisi kekosongan dalam literatur yang selama ini lebih banyak bersifat nasional dan deskriptif, tanpa mengakomodasi perbedaan kontekstual daerah ataupun kebutuhan desain kebijakan yang dapat diimplementasikan. Desain penelitian menggunakan tiga fase. Fase pertama melibatkan tinjauan pustaka sistematis dan wawancara semi-terstruktur dengan para pemangku kepentingan utama seperti regulator halal, auditor, dan pelaku UMK. Sebanyak lima belas sub-faktor hambatan pra-sertifikasi berhasil diidentifikasi dan diklasifikasikan ke dalam lima kategori: pengetahuan dan kesadaran, finansial, kelembagaan dan regulasi, operasional, dan psikologi. Semua sub-faktor tervalidasi melalui wawancara, kecuali satu—kekhawatiran membocorkan rahasia dagang—yang tidak memiliki dukungan empiris dan karenanya tidak dilanjutkan pada analisis berikutnya. Fase kedua menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk memprioritaskan hambatan. Hasil menunjukkan tiga hambatan utama: keterbatasan kesiapan finansial, tidak adanya tenaga kerja internal yang memahami sertifikasi halal, dan rendahnya kesadaran terhadap manfaat sertifikasi halal. Fase ketiga dilakukan benchmarking dengan program- program Malaysia yang sukses—seperti skema Halal Development Officer (HDO), bantuan pembiayaan SME Corp, dan roadshow Jelajah Halal—serta mengeksplorasi adaptasinya di konteks Jawa Barat. Berdasarkan wawancara dengan BPJPH, Dinas KUKM Jabar, dan Satgas Halal Kemenag Jabar, program- program ini dinilai dapat diterapkan dengan penyesuaian lokal. Adaptasi yang diusulkan meliputi pelatihan tenaga halal melalui kolaborasi LPH lokal, kegiatan penyuluhan berbasis asosiasi dan komunitas masyarakat, serta penggalangan dana fasilitasi melalui CSR atau KDEKS. Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis dengan menyajikan kerangka hambatan sertifikasi halal yang telah disesuaikan untuk konteks UMK di Indonesia. Dari sisi metodologi, studi ini menunjukkan nilai integrasi validasi berbasis pakar dengan analisis multi-kriteria. Dari sisi praktis, penelitian ini menawarkan strategi-solusi yang aplikatif bagi para pemangku kepentingan lokal—termasuk regulator, lembaga halal, dan mitra sektor swasta—untuk meningkatkan partisipasi UMK dalam proses sertifikasi halal. Studi ini mendukung pemenuhan sertifikasi halal yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan efektif, sejalan dengan target jaminan produk halal nasional dan pengembangan industri di daerah.