digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pelabuhan memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi regional, hal ini merupakan potensi yang perlu dikembangkan dan tingkatkan kualitas kinerjanya untuk memberikan kontribusi pada perkembangan negara. Diketahui sekitar 90% perdagangan interasional diangkut melalui jalur laut, namun pelabuhan juga menyumbangkan pencemaran terhadap lingkungan dan kegiatan transportasi maritim. Kebijakan perubahan iklim yang dilakukan pada sektor transportasi ditegaskan dalam dua program utama yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah tindakan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sedangkan adaptasi adalah tindakan mengurangi kerentanan terhadap efek perubahan iklim. Indonesia dan negara Internasional lainnya dalam kebijakan “Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change” juga telah ikut berkomitmen untuk mengurangi isu perubahan iklim salah satunya dengan mengupayakan dekarbonisasi. Saat ini pelabuhan-pelabuhan di dunia telah menerapkan konsep pelabuhan hijau, sebagai bentuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pelabuhan hijau sebagai bentuk dari transisi keberlanjutan pada dimensi teknologi dan sosial. Transisi pada pelabuhan akan coba dilihat pada Terminal Teluk Lamong sebagai pelabuhan hijau dan Pelabuhan Panjang sebagai pelabuhan yang bertransformasi menuju pelabuhan hijau. Pendekatan multi-level perspective melihat dari kondisi lanskap, dinamika rezim dan inovasi/niches digunakan pada penelitian ini untuk melihat transisi dan menjawab transformasi pelabuhan menuju pelabuhan hijau pada Terminal Teluk Lamong dan Pelabuhan Panjang untuk melihat tata kelola, kebijakan serta inovasi teknologi yang berkembang di pelabuhan sebagai pembelajaran konteks Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan transisi pelabuhan hijau di Indonesia berpengaruh pada dinamika rezim yang berhubungan dengan kondisi lanskap studi kasus. Inovasi ceruk/ niches innovation yang muncul ke permukaan paling signifikan adalah pemanfaatan infrastruktur berbasis digital dan manless serta munculnya kerangka koordinasi baru khusus pelabuhan hijau. Pada teori transportasi berkelanjutan, penerapan pelabuhan hijau di Indonesia lebih dekat dengan bentuk perencanaan top-down. Penelitian ini juga menemukan bahwa masing-masing studi kasus memiliki karakteristik yang berbeda mengenai konsep pelabuhan hijau pada aspek lanskap sosioteknis. Hasil analisis terhadap karakteristik konteks lanskap sosio-teknisdi lokasi studi kasus memiliki fase perubahan spasial berbeda sesuai dengan dokumen rencana pengembangan pelabuhan masing-masing. Pada Terminal Teluk Lamong, perencanaan pelabuhan dengan konsep pelabuhan hijau sejak awal sudah direncanakan dan diimplementasikan, sedangkan pada Pelabuhan Panjang dimulai sejak diberlakukannya peraturan Menteri terkait tentang penerapan konsep pelabuhan hijau untuk seluruh perusahaan yang mampu dan mau melaksanakan konsep tersebut. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi bahwa parameter yang digunakan masih beragam namun serupa, sehingga perlu penyepakatan parameter utama yang digunakan agar output dan outcome yang dihasilkan sesuai ekspektasi. Berdasarkan pemetaan aktor yang terlibat dalam pelaksanaan, masih sangat banyak dan beragam dari setiap level baik nasional, sub-nasional, dan lokal. Hal ini juga dikhawatirkan menjadi sebab tidak berfungsinya secara optimal tugas pokok dan fungsi stakeholders pada level-level subnasional dan lokal, sehingga ketika dilakukan analisa lanjutan didapatkan hasil koordinasi yang lemah. Proses perencanaan pelabuhan hijau di Terminal Teluk Lamong dan Pelabuhan Panjang berangkat dari tujuan perencanaan masing-masing pelabuhan, selanjutnya pemerintah pusat menyusun kebijakan untuk diterapkan pada setiap perusahaan pelabuhan di Indonesia. Pada Terminal Teluk Lamong, proses perencanaan bersifat topdown, yaitu dari level pusat kemudian dilanjutkan ke instansi level kota/kabupaten, selanjutnya disampaikan pada perusahaan pelabuhan. Tantangan penerapan pelabuhan hijau di masing-masing studi kasus berbeda-beda. Pada Terminal Teluk Lamong, tantangan utama adalah mendefinisikan parameter pelabuhan hijau saat akan melakukan implementasi pelabuhan hijau, serta birokrasi perizinan pembangunan untuk fase 2 menuju fase 3 (beyond). Tata kelola pada proses koordinasi kelembagaan pada transformasi pelabuhan hijau pada aspek socio-technical regime di masing-masing studi kasus menunjukkan bahwa ada dua kelompok stakeholder yaitu internal dan eksternal pelaksana. Masingmasing aktor memiliki power, legitimacy, dan urgency yang berbeda. Paling tinggi power, legitimacy, dan urgency adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada level Nasional. Hal ini menjadi gambaran untuk menyusun model aktor khusus pelaksanaan pelabuhan hijau di Indonesia. Interaksi antara inovasi di tingkat niche, dinamika rezim, dan tekanan lanskap membentuk arah proses transisi menuju pelabuhan hijau. Inovasi-inovasi yang muncul adalah digitalisasi dan pemanfaatan teknologi pada operasional pelabuhan serta pemanfaatan green energy pada alat angkut di area pelabuhan. Parameter pelabuhan hijau di Indonesia dan aktor yang terlibat telah coba disusun oleh peneliti sebagai usulan untuk generalisasi pada kasus-kasus pelabuhan lainnya di Indonesia.