







Pelabuhan memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi regional, hal
ini merupakan potensi yang perlu dikembangkan dan tingkatkan kualitas kinerjanya
untuk memberikan kontribusi pada perkembangan negara. Diketahui sekitar 90%
perdagangan interasional diangkut melalui jalur laut, namun pelabuhan juga
menyumbangkan pencemaran terhadap lingkungan dan kegiatan transportasi maritim.
Kebijakan perubahan iklim yang dilakukan pada sektor transportasi ditegaskan
dalam dua program utama yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah tindakan
mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sedangkan adaptasi adalah tindakan
mengurangi kerentanan terhadap efek perubahan iklim. Indonesia dan negara
Internasional lainnya dalam kebijakan “Paris Agreement to The United Nations
Framework Convention on Climate Change” juga telah ikut berkomitmen untuk
mengurangi isu perubahan iklim salah satunya dengan mengupayakan dekarbonisasi.
Saat ini pelabuhan-pelabuhan di dunia telah menerapkan konsep pelabuhan hijau, sebagai
bentuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pelabuhan hijau sebagai bentuk
dari transisi keberlanjutan pada dimensi teknologi dan sosial. Transisi pada pelabuhan
akan coba dilihat pada Terminal Teluk Lamong sebagai pelabuhan hijau dan Pelabuhan
Panjang sebagai pelabuhan yang bertransformasi menuju pelabuhan hijau.
Pendekatan multi-level perspective melihat dari kondisi lanskap, dinamika rezim
dan inovasi/niches digunakan pada penelitian ini untuk melihat transisi dan menjawab
transformasi pelabuhan menuju pelabuhan hijau pada Terminal Teluk Lamong dan
Pelabuhan Panjang untuk melihat tata kelola, kebijakan serta inovasi teknologi yang
berkembang di pelabuhan sebagai pembelajaran konteks Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan transisi pelabuhan hijau di Indonesia berpengaruh
pada dinamika rezim yang berhubungan dengan kondisi lanskap studi kasus. Inovasi
ceruk/ niches innovation yang muncul ke permukaan paling signifikan adalah
pemanfaatan infrastruktur berbasis digital dan manless serta munculnya kerangka
koordinasi baru khusus pelabuhan hijau. Pada teori transportasi berkelanjutan, penerapan
pelabuhan hijau di Indonesia lebih dekat dengan bentuk perencanaan top-down.
Penelitian ini juga menemukan bahwa masing-masing studi kasus memiliki
karakteristik yang berbeda mengenai konsep pelabuhan hijau pada aspek lanskap sosioteknis. Hasil analisis terhadap karakteristik konteks lanskap sosio-teknisdi lokasi studi
kasus memiliki fase perubahan spasial berbeda sesuai dengan dokumen rencana
pengembangan pelabuhan masing-masing. Pada Terminal Teluk Lamong, perencanaan
pelabuhan dengan konsep pelabuhan hijau sejak awal sudah direncanakan dan
diimplementasikan, sedangkan pada Pelabuhan Panjang dimulai sejak diberlakukannya
peraturan Menteri terkait tentang penerapan konsep pelabuhan hijau untuk seluruh
perusahaan yang mampu dan mau melaksanakan konsep tersebut.
Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi bahwa parameter yang digunakan masih
beragam namun serupa, sehingga perlu penyepakatan parameter utama yang digunakan
agar output dan outcome yang dihasilkan sesuai ekspektasi. Berdasarkan pemetaan aktor
yang terlibat dalam pelaksanaan, masih sangat banyak dan beragam dari setiap level baik
nasional, sub-nasional, dan lokal. Hal ini juga dikhawatirkan menjadi sebab tidak
berfungsinya secara optimal tugas pokok dan fungsi stakeholders pada level-level subnasional dan lokal, sehingga ketika dilakukan analisa lanjutan didapatkan hasil koordinasi
yang lemah.
Proses perencanaan pelabuhan hijau di Terminal Teluk Lamong dan Pelabuhan
Panjang berangkat dari tujuan perencanaan masing-masing pelabuhan, selanjutnya
pemerintah pusat menyusun kebijakan untuk diterapkan pada setiap perusahaan
pelabuhan di Indonesia. Pada Terminal Teluk Lamong, proses perencanaan bersifat topdown, yaitu dari level pusat kemudian dilanjutkan ke instansi level kota/kabupaten,
selanjutnya disampaikan pada perusahaan pelabuhan. Tantangan penerapan pelabuhan
hijau di masing-masing studi kasus berbeda-beda. Pada Terminal Teluk Lamong,
tantangan utama adalah mendefinisikan parameter pelabuhan hijau saat akan melakukan
implementasi pelabuhan hijau, serta birokrasi perizinan pembangunan untuk fase 2
menuju fase 3 (beyond).
Tata kelola pada proses koordinasi kelembagaan pada transformasi pelabuhan
hijau pada aspek socio-technical regime di masing-masing studi kasus menunjukkan
bahwa ada dua kelompok stakeholder yaitu internal dan eksternal pelaksana. Masingmasing aktor memiliki power, legitimacy, dan urgency yang berbeda. Paling tinggi
power, legitimacy, dan urgency adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman
dan Investasi pada level Nasional. Hal ini menjadi gambaran untuk menyusun model
aktor khusus pelaksanaan pelabuhan hijau di Indonesia.
Interaksi antara inovasi di tingkat niche, dinamika rezim, dan tekanan lanskap
membentuk arah proses transisi menuju pelabuhan hijau. Inovasi-inovasi yang muncul
adalah digitalisasi dan pemanfaatan teknologi pada operasional pelabuhan serta
pemanfaatan green energy pada alat angkut di area pelabuhan. Parameter pelabuhan hijau
di Indonesia dan aktor yang terlibat telah coba disusun oleh peneliti sebagai usulan untuk
generalisasi pada kasus-kasus pelabuhan lainnya di Indonesia.