






Industri fast moving consumer goods (FMCG), khususnya sektor mi instan, tengah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Indonesia menempati peringkat kedua konsumsi mi instan dunia, sehingga mendorong peningkatan permintaan bahan baku. Hal ini juga dirasakan oleh Picante Noodles Company (PNC) sebagai produsen mi instan, di mana produknya mengalami kenaikan peringkat brand index. Perusahaan menerapkan strategi penghematan biaya dalam pembelian. Namun, prioritas biaya dibanding faktor lain dalam pemilihan pemasok, membuat kualitas bahan baku dan kinerja pengiriman tepat waktu tidak memenuhi target. Selain itu, kurangnya kerangka manajemen risiko terstruktur dalam pemilihan pemasok menambah permasalahan tersebut, karena perusahaan hanya mengandalkan biaya sebagai kriteria utama dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, perusahaan menghadapi tantangan karena kriteria pemasok yang ambigu dalam memilih pemasok bahan baku dan kurangnya manajemen risiko terstruktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan kriteria pemilihan pemasok, menilai risiko terkait, dan mengusulkan strategi untuk meningkatkan pengambilan keputusan. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari wawancara, kuesioner, dan dokumen lainnya. Analisis yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan kriteria dan pembobotan nilai serta kerangka proses ISO 31000:2018 untuk manajemen risiko. Wawancara dan kuesioner dilakukan dengan 7 orang pakar untuk menentukan penilaian komparatif terhadap kriteria yang ditetapkan untuk pemilihan pemasok.
Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan kerangka kerja ISO 31000:2018 sebagai pedoman, kriteria seperti kualitas, biaya, produksi, sinergi, dan faktor keuangan dievaluasi, dan kriteria ini kemudian dipecah lagi menjadi 15 sub-kriteria. Hasil mengungkapkan bahwa Kualitas adalah kriteria yang paling kritis (31,5%), diikuti oleh Biaya (23%), Produksi (21,7%), Sinergi (13,1%), dan Keuangan (10,7%). Risiko utama yang diidentifikasi meliputi masalah dengan kualitas produk, biaya yang berfluktuasi, keterlambatan produksi, masalah dengan hubungan pemasok, dan ketidakstabilan keuangan pemasok. Risiko-risiko ini dapat mengganggu rantai pasokan dan berdampak negatif pada bisnis. Penilaian risiko menemukan risiko Biaya dan Produksi menjadi yang paling signifikan, diikuti oleh risiko kualitas sedang, kemudian risiko sinergi dan keuangan menimbulkan kekhawatiran yang lebih rendah tetapi masih penting. Dengan demikian, untuk meningkatkan proses pemilihan pemasok, PNC perlu memberi peringkat pemasok berdasarkan kriteria dan pembobotan untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi. Jika hasil membuktikan bahwa dari evaluasi pemasok yang ada, beberapa pemasok menerima skor yang sama, dengan menerapkan penilaian baru, peringkat pemasok yang lebih jelas akan diberikan. Untuk mengatasi temuan ini, penelitian merekomendasikan penerapan kerangka kerja pemilihan pemasok berbasis AHP yang terstruktur, meningkatkan jaminan kualitas, mengoptimalkan manajemen biaya, dan mengembangkan strategi mitigasi risiko yang ditargetkan. Dengan menerapkan rekomendasi ini, PNC dapat meningkatkan pemilihan pemasok, mengurangi risiko, dan memperkuat ketahanan rantai pasokannya. Penelitian di masa mendatang dapat mengeksplorasi model pembobotan dinamis dan perbandingan industri untuk menyempurnakan kerangka kerja lebih lanjut.