digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kehadiran gulma di perkebunan kopi dapat menurunkan produktivitas tanaman budidaya, beberapa diantaranya merupakan spesies invasif yang dapat menurunkan keanekaragaman hayati lokal. Kabupaten Garut sebagai salah satu penghasil kopi terbesar di Jawa Barat memiliki berbagai macam sistem perkebunan, yaitu kebun kopi monokultur (CM), kebun kopi tumpang sari dengan labu siam (CS), dan kebun kopi tumpang sari dengan cabai (CC). Pengelolaan gulmanya seringkali dilakukan dengan kurang efektif karena tidak memperhatikan karakteristik keinvasifan dan fisibilitas pengelolaannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kekayaan spesies gulma di setiap sistem perkebunan kopi serta menganalisis risiko spesies dominan untuk menentukan jenis pengelolaan yang efektif. Plot 1x1 meter diletakkan secara purposive random pada setiap kebun (total 135 plot). Indeks Nilai Penting (INP) dihitung untuk mengidentifikasi spesies gulma dominan, sedangkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) digunakan untuk membandingkan keanekaragaman spesies gulma di setiap sistem perkebunan. Data dianalisis dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dan clustering untuk mendeskripsikan karakter setiap kebun berdasarkan komposisi spesiesnya, sementara analisis risiko gulma dilakukan dengan menggunakan sistem scoring. Hasil analisis menunjukan adanya 59 spesies gulma (19 native-invasive dan 40 alien-invasive) dengan kelompok Asteraceae (17 spesies) mendominasi di semua kebun. Ageratum conyzoides, Alternanthera philoxeroides, Bidens pilosa, Commelina communis, Digitaria ciliaris, Eleusine indica, dan Richardia brasiliensis adalah spesies yang umum ditemukan. Kebun CC memiliki jumlah spesies gulma yang paling rendah (25 spesies, H’=2,8), didominasi oleh Galinsoga quadriradiata (INP=27%) dan Oxalis latifolia (INP=23%); diikuti oleh kebun CM (27 spesies, H’=2,6) dengan didominasi oleh Drymaria cordata (INP=33%) dan Galinsoga parviflora (INP=32%); jumlah spesies gulma paling tinggi terdapat di kebun CS (40 spesies, H’=3.2) dengan dominansi R. brasiliensis (INP=24%) dan B. pilosa (INP=18%). Hasil PCA dan clustering menunjukkan bahwa seluruh lokasi penelitian terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu CM dan CC-CS berdasarkan kesamaan komposisi spesies gulmanya. Alternanthera philoxeroides sebagai spesies dengan INP tertinggi (19%) memiliki nilai risiko keinvasifan sebesar 268,8 dengan kategori sangat tinggi dan nilai fisibilitas pengelolaan sebesar 155,9 dengan kategori diabaikan; sehingga spesies ini perlu dikelola dengan tepat agar dapat direduksi dampaknya.