ABSTRAK Janice Shaffiyah Fitrahillah
Terbatas  Esha Mustika Dewi
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Esha Mustika Dewi
» Gedung UPT Perpustakaan
Ulat grayak (Spodoptera frugiperda) adalah serangga hama invasif yang dapat ditemukan hampir di seluruh provinsi Indonesia dan mengakibatkan banyak kerugian pada berbagai tanaman, terutama dampaknya pada penurunan hasil panen pertanian. Salah satu tanaman yang paling terdampak adalah tanaman jagung (Zea mays) dengan estimasi kehilangan hasil panen sebesar 21-53% di beberapa negara. Insektisida kimiawi umum digunakan sebagai metode pengendalian serangga hama tersebut, tetapi penggunaan secara terus-menerus dan tidak tepat dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti pencemaran lingkungan. Maka dari itu, dibutuhkan eksplorasi untuk menemukan solusi alternatif yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Contohnya, penggunaan pengendalian biologis, seperti jamur entomopatogen atau entomopathogenic fungi (EPF) yang sudah terbukti efektif sebagai bioinsektisida. EPF berperan penting dalam menekan populasi hama secara alami, dengan kapasitas reproduktif tinggi dan siklus hidup yang relatif singkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi isolat EPF secara makroskopis dan mikroskopis, serta kerapatan konidianya (konidia/mL), berikut menentukan dampak biologisnya terhadap Spodoptera frugiperda dilihat dari persentase mortalitas (%), serta tingkat keberhasilannya dalam pembentukan pupa (%) dan imago (%). Penelitian dimulai dengan pengambilan sampel acak di Kebun Cedok, Cikidang, Lembang sebagai sumber isolat EPF dari larva ulat grayak yang terinfeksi, koleksi dan pemeliharaan ulat grayak di laboratorium, identifikasi dan penghitungan konsentrasi EPF, aplikasi EPF secara topikal pada ulat grayak, hingga pengamatan mortalitas serta pembentukan pupa dan imago. Sebanyak 125 ekor larva instar 2-3 Spodoptera frugiperda digunakan yang terbagi menjadi 5 kelompok perlakuan. Hasil identifikasi EPF dan penghitungan konsentrasi menunjukkan bahwa isolat 1 (P1) adalah Beauveria sp. (6,91 x 107 konidia/mL), isolat 2 (P2) adalah Fusarium sp. (3,20 x 107 konidia/mL), isolat 3 (P3) adalah Cladosporium sp. (2,77 x 107 konidia/mL), dan isolat 4 (P4) adalah Fusarium sp. (4,37 x 107 konidia/mL). Hasil pengamatan menunjukkan tingkat mortalitas yang sangat rendah pada seluruh perlakuan dalam waktu 7 hari setelah aplikasi, yakni rata-rata mortalitas sebesar 0% untuk P1 dan P2; 1,14% untuk P3; dan 0,57% untuk P4. Data pengamatan pembentukan pupa menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan pembentukan pupa terendah dimiliki oleh P4, dengan rata-rata pembentukan pupa normal sebesar 27,78% dan pupa abnormal sebesar 5,56%. Sementara itu, P0 (kontrol) memiliki rata-rata persentase pembentukan imago terendah (6,86%), diikuti oleh P4 (9,14%), P3 (10,86%), P1 (11,43%), dan P2 (12,57%). Seluruh hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara kelompok data, baik untuk mortalitas maupun pembentukan pupa dan imago. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa hasil identifikasi isolat EPF merupakan genus Beauveria, Fusarium, dan Cladosporium dengan kerapatan konidia yang bervariasi (x 107 konidia/mL). Lalu, aplikasi isolat EPF sebagai isolat tinggal tidak memiliki pengaruh yang signifikan dan memiliki efektivitas biokontrol yang rendah terhadap Spodoptera frugiperda.
Perpustakaan Digital ITB