Penelitian artistik ini berangkat dari pengalaman traumatis masa kanak-kanak penulis, khususnya
yang berkaitan dengan perenggutan hak sebagai anak dan perempuan. Pengalaman traumatis ini
telah berdampak mendalam pada kondisi psikologis penulis, mengakibatkan guncangan pada
pemahaman diri dan cara memandang kehidupan secara menyeluruh. Dorongan untuk
menyembuhkan diri melalui pencarian makna baru atas pengalaman traumatis ini menjadi titik
tolak penelitian, dengan keyakinan bahwa luka batin tidak semata-mata merupakan kondisi faktis
yang harus dihadapi, tetapi juga menyimpan potensi makna yang mengarah pada pemahaman diri
yang lebih utuh dan penghargaan terhadap kompleksitas kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk
(1) mentransformasikan pengalaman trauma menjadi kekuatan dan ketahanan batin melalui
aktivitas membuat karya seni dan (2) merepresentasikan jalinan antara pengalaman trauma,
proses penerimaan, pemaknaannya melalui eksplorasi teknik tenun serta material kawat monel
sebagai medium simbolik dalam konteks pengalaman individual. Menggunakan pendekatan
interdisipliner, penelitian ini menggabungkan metode studi pustaka yang berlandaskan teori seni
sebagai simbol (Susanne K. Langer), fenomenologi persepsi (Merleau-Ponty), psikologi trauma
(Judith Herman), dan logoterapi (Viktor Frankl), dengan praktik studio yang didukung teori
somato sensori dan pendekatan art as therapy, dimana teknik tenun dan material kawat monel 0,3
mm dipilih sebagai medium simbolik berdasarkan karakteristiknya yang mampu menyimpan
jejak lipatan—analog dengan sifat memori traumatis—serta sifatnya yang adaptif namun kuat—
sebagai harapan bagi penulis dalam menghadapi pengalaman trauma dimasa lalu, sementara
sistem kerja tenun yang melibatkan pergerakan naik-turun kawat lungsi dan pakan
merepresentasikan proses transformasi psikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
proses berkarya melalui aktivitas menenun kawat monel telah memfasilitasi transformasi trauma
menjadi kekuatan dan ketahanan batin. Hal ini terbukti dari tiga aspek yang saling terkait:
pertama, aktivitas menenun yang berulang dan meditatif menciptakan ruang refleksi bagi penulis
untuk mengolah pengalaman traumatis, dimana proses pengerjaan yang membutuhkan kesabaran
telah membangun ketahanan mental. Kedua, karakteristik material kawat monel yang dapat
ditekuk namun tetap kuat merefleksikan perjalanan transformasi dari kerentanan menuju
ketahanan, terlihat dari kemampuannya membentuk struktur yang kokoh sambil mempertahankan
fleksibilitas. Ketiga, teknik tenun yang menghasilkan jalinan antara kawat lungsi dan pakan
menciptakan struktur yang lebih kuat dibandingkan selembar kawat tunggal, merepresentasikan
penguatan diri melalui integrasi pengalaman trauma menjadi bagian dari pertumbuhan personal
dan (2) karya yang dihasilkan berhasil merepresentasikan kompleksitas hubungan antara trauma,
penerimaan, dan pemaknaan melalui jejaring visual yang terbentuk dari pertemuan kawat lungsi
dan pakan, dimana setiap titik persilangan mencerminkan momen-momen transformatif dalam
pembentukan narasi personal dan pemulihan trauma.