digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Abstrak
PUBLIC Dewi Supryati

Penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada bulan Mei 2022 kepada seluruh pelaku bisnis komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya membawa perubahan terhadap alur proses bisnis, terutama pelaku bisnis dengan pangsa pasar ekspor. Kebijakan DMO menyatakan bahwa pelaku bisnis yang akan mengekspor komoditas CPO dan produk turunannya harus memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik terlebih dahulu. Jumlah kebutuhan ini diperoleh dari hasil pengalian konstanta rasio yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan total kuantitas produk yang akan diekspor. Ketika pemenuhan kebutuhan minyak goreng domestik telah terpenuhi, maka dokumen izin ekspor atau Permit Export (PE) akan diterbitkan oleh pemerintah, dan kegiatan ekspor dapat dilakukan. Terdapat dua kendala yang dihadapi oleh pelaku bisnis dalam melaksanakan pemenuhan kebutuhan minyak goreng domestik, yaitu: (1) tidak memiliki jaringan pemasaran dan distribusi minyak goreng di pasar domestik, dan (2) tidak memiliki fasilitas untuk memproduksi minyak goreng kemasan. Dua kendala ini mengakibatkan sulitnya pemenuhan permintaan domestik, terhambatnya penerbitan PE, dan berujung pada peningkatan risiko gagal ekspor. Pada sektor lain, kebijakan biodiesel-35 yang menggunakan bahan baku CPO juga menjadi perhatian untuk menjamin ketersediaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Pada penelitian ini dikembangkan model jaringan rantai suplai minyak goreng kemasan untuk menentukan jumlah fasilitas pabrik kelapa sawit, pabrik pengolahan CPO, pabrik pemisahan, dan pabrik pengemasan beserta kapasitas dan jumlah produksinya sehingga mampu memenuhi permintaan produk ekspor, produk domestik dan memaksimasi laba rantai suplai secara keseluruhan. Model rancangan jaringan rantai suplai yang dikembangkan memiliki karakteristik multi- level, multi-produk, multi-kapasitas, multi-destinasi, dan adanya transshipment dalam sistem penyaluran produk. Perancangan jaringan rantai suplai juga mempertimbangkan elemen kebijakan B-35 pada jumlah permintaan biodiesel domestik dan kebijakan DMO yang menghubungan kuantitas permintaan ekspor dengan permintaan minyak goreng domestik yang belum pernah dilakukan di penelitan sebelumnya. iii Validasi model dilakukan dengan membandingkan output model dengan kondisi nyata untuk suatu kasus nyata. Lebih lanjut, analisis sensitivitas dilakukan menggunakan uji kasus dengan mengubah nilai parameter kuantitas permintaan ekspor, harga jual ekspor, dan rasio DMO untuk mengetahui dampak perubahan parameter tersebut terhadap solusi yang dihasilkan oleh model. Metode optimisasi dengan pendekatan Mixed Integer Linear Programming (MILP) dilakukan untuk mendapatkan solusi optimal global. Hasil uji empat kasus menunjukkan bahwa perubahan kuantitas permintaan ekspor memengaruhi pemilihan lokasi fasilitas, kapasitas, dan keputusan pembangunan pabrik pengemasan baru. Harga produk ekspor merupakan parameter yang sensitif secara positif terhadap laba namun relative insensitive terhadap keputusan strategis. Penurunan rasio DMO dari 30% ke 20% menyebabkan penurunan kapasitas produksi pabrik pengemasan, sedangkan solusi kelayakan tidak dapat ditemukan pada peningkatan nilai DMO dari 30% ke 40% karena seluruh titik kandidat lokasi pabrik pengemasan telah terisi dengan pemilihan kapasitas terbesar dalam set yang tersedia. Hasil uji kasus menunjukkan bahwa empat unit pabrik kelapa sawit dengan total kapasitas 104.400 MT, dua unit pabrik pengolahan dengan total kapasitas 112.400 MT, dua unit pabrik pemisahan dengan total kapasitas 89.600 MT, lima unit pusat distribusi dengan total kapasitas 20.160 MT, dan dua unit pabrik pengemasan internal dengan total kapasitas 504 MT merupakan desain rantai suplai terbaik yang dapat memenuhi permintaan ekspor, permintaan minyak goreng domestik, permintaan biodiesel domestik, dan menghasilkan total laba maksimum sebesar 66.423.748 USD per bulan. Dari total biaya rantai suplai yang mencakup biaya tetap, biaya produksi, biaya simpan, dan biaya transportasi, komponen biaya transportasi merupakan komponen biaya terbesar dengan rata-rata proporsi 55,69% dari total biaya. Biaya transportasi yang tinggi disebabkan oleh pembebanan biaya transportasi di fasilitas pusat distribusi yang harus mengirimkan minyak goreng kemasan ke seluruh titik destinasi sekaligus menjemput bahan baku dari pabrik pemisahan.