Penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia pada bulan Mei 2022 kepada seluruh pelaku bisnis
komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya membawa perubahan terhadap
alur proses bisnis, terutama pelaku bisnis dengan pangsa pasar ekspor. Kebijakan
DMO menyatakan bahwa pelaku bisnis yang akan mengekspor komoditas CPO dan
produk turunannya harus memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik terlebih
dahulu. Jumlah kebutuhan ini diperoleh dari hasil pengalian konstanta rasio yang
telah ditetapkan oleh pemerintah dengan total kuantitas produk yang akan diekspor.
Ketika pemenuhan kebutuhan minyak goreng domestik telah terpenuhi,
maka dokumen izin ekspor atau Permit Export (PE) akan diterbitkan oleh
pemerintah, dan kegiatan ekspor dapat dilakukan. Terdapat dua kendala yang
dihadapi oleh pelaku bisnis dalam melaksanakan pemenuhan kebutuhan minyak
goreng domestik, yaitu: (1) tidak memiliki jaringan pemasaran dan distribusi
minyak goreng di pasar domestik, dan (2) tidak memiliki fasilitas untuk
memproduksi minyak goreng kemasan. Dua kendala ini mengakibatkan sulitnya
pemenuhan permintaan domestik, terhambatnya penerbitan PE, dan berujung pada
peningkatan risiko gagal ekspor. Pada sektor lain, kebijakan biodiesel-35 yang
menggunakan bahan baku CPO juga menjadi perhatian untuk menjamin
ketersediaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng.
Pada penelitian ini dikembangkan model jaringan rantai suplai minyak
goreng kemasan untuk menentukan jumlah fasilitas pabrik kelapa sawit, pabrik
pengolahan CPO, pabrik pemisahan, dan pabrik pengemasan beserta kapasitas dan
jumlah produksinya sehingga mampu memenuhi permintaan produk ekspor,
produk domestik dan memaksimasi laba rantai suplai secara keseluruhan. Model
rancangan jaringan rantai suplai yang dikembangkan memiliki karakteristik multi-
level, multi-produk, multi-kapasitas, multi-destinasi, dan adanya transshipment
dalam sistem penyaluran produk. Perancangan jaringan rantai suplai juga
mempertimbangkan elemen kebijakan B-35 pada jumlah permintaan biodiesel
domestik dan kebijakan DMO yang menghubungan kuantitas permintaan ekspor
dengan permintaan minyak goreng domestik yang belum pernah dilakukan di
penelitan sebelumnya.
iii
Validasi model dilakukan dengan membandingkan output model dengan
kondisi nyata untuk suatu kasus nyata. Lebih lanjut, analisis sensitivitas dilakukan
menggunakan uji kasus dengan mengubah nilai parameter kuantitas permintaan
ekspor, harga jual ekspor, dan rasio DMO untuk mengetahui dampak perubahan
parameter tersebut terhadap solusi yang dihasilkan oleh model.
Metode optimisasi dengan pendekatan Mixed Integer Linear Programming
(MILP) dilakukan untuk mendapatkan solusi optimal global. Hasil uji empat kasus
menunjukkan bahwa perubahan kuantitas permintaan ekspor memengaruhi
pemilihan lokasi fasilitas, kapasitas, dan keputusan pembangunan pabrik
pengemasan baru. Harga produk ekspor merupakan parameter yang sensitif secara
positif terhadap laba namun relative insensitive terhadap keputusan strategis.
Penurunan rasio DMO dari 30% ke 20% menyebabkan penurunan kapasitas
produksi pabrik pengemasan, sedangkan solusi kelayakan tidak dapat ditemukan
pada peningkatan nilai DMO dari 30% ke 40% karena seluruh titik kandidat lokasi
pabrik pengemasan telah terisi dengan pemilihan kapasitas terbesar dalam set yang
tersedia.
Hasil uji kasus menunjukkan bahwa empat unit pabrik kelapa sawit dengan
total kapasitas 104.400 MT, dua unit pabrik pengolahan dengan total kapasitas
112.400 MT, dua unit pabrik pemisahan dengan total kapasitas 89.600 MT, lima
unit pusat distribusi dengan total kapasitas 20.160 MT, dan dua unit pabrik
pengemasan internal dengan total kapasitas 504 MT merupakan desain rantai suplai
terbaik yang dapat memenuhi permintaan ekspor, permintaan minyak goreng
domestik, permintaan biodiesel domestik, dan menghasilkan total laba maksimum
sebesar 66.423.748 USD per bulan.
Dari total biaya rantai suplai yang mencakup biaya tetap, biaya produksi,
biaya simpan, dan biaya transportasi, komponen biaya transportasi merupakan
komponen biaya terbesar dengan rata-rata proporsi 55,69% dari total biaya. Biaya
transportasi yang tinggi disebabkan oleh pembebanan biaya transportasi di fasilitas
pusat distribusi yang harus mengirimkan minyak goreng kemasan ke seluruh titik
destinasi sekaligus menjemput bahan baku dari pabrik pemisahan.