digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Abstrak
PUBLIC Dewi Supryati

Pada tahun 2018, Indonesia meluncurkan program “Making Indonesia 4.0” untuk merevitalisasi industri manufaktur dan mencapai posisi sebagai ekonomi terbesar ke-10 di dunia pada tahun 2030. Inisiatif ini menargetkan lima industri prioritas: makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, bahan kimia, dan elektronik. Dalam sektor makanan dan minuman, industri crude palm oil (CPO) berperan signifikan terhadap PDB. Namun, industri CPO menghadapi berbagai tantangan, termasuk rendahnya Revealed Comparative Advantage (RCA) dibandingkan Malaysia, efisiensi pabrik yang buruk, kualitas produk yang tidak stabil, serta kurangnya visibilitas dan transparansi dalam rantai pasokan. Permintaan yang terus meningkat terhadap minyak sawit sebagai minyak nabati pilihan menjadikan peningkatan efisiensi dan produktivitas industri CPO Indonesia sangat krusial. Salah satu pendekatan efektif adalah memperbaiki sistem rantai pasokan. Meski berbagai studi telah mengidentifikasi hambatan dalam transformasi digital sistem rantai pasokan, belum ada yang secara khusus membahas industri CPO di Indonesia. Penelitian ini mengisi kesenjangan tersebut dengan melakukan tinjauan pustaka sistematis untuk mengidentifikasi hambatan awal, yang kemudian divalidasi oleh para ahli dari pemerintah, akademisi, dan industri menggunakan metode Delphi. Hubungan antar hambatan yang terverifikasi dianalisis menggunakan Interpretive Structural Modeling (ISM) dan teknik MICMAC untuk mengkategorikan hambatan-hambatan tersebut berdasarkan pengaruh dan ketergantungannya. Melalui SLR, 22 hambatan diidentifikasi dan dikelompokkan ke dalam tujuh kategori utama. Pada putaran pertama Delphi, para ahli menambahkan hambatan baru, yaitu "pengukuran insentif." Pada putaran kedua, hambatan dengan signifikansi tertinggi adalah kurangnya investasi dalam R&D, proses transformasi digital yang memakan waktu, dan kurangnya kolaborasi dan kerjasama. Akhirnya, 13 hambatan diperiksa lebih lanjut menggunakan ISM-MICMAC. Hasil ISM menunjukkan bahwa "proses transformasi digital yang memakan waktu" berdiri ii sendiri di tingkat terendah, sedangkan "pengukuran insentif" dan "sumber daya keuangan" berada di tingkat tertinggi. Analisis MICMAC mengungkapkan bahwa "proses transformasi digital yang memakan waktu" dan "keamanan data" adalah variabel dependen, sementara "pengukuran insentif" adalah hambatan otonom. Hambatan independen meliputi kurangnya regulasi dan standar, kurangnya kolaborasi dan kerjasama, kurangnya investasi dalam R&D, dan kurangnya sumber daya keuangan. Hambatan lainnya diklasifikasikan sebagai hambatan penghubung. Analisis ISM dan MICMAC secara konsisten menyoroti hambatan mendasar terkait sumber daya keuangan dan kerangka kerja regulasi sebagai pendorong kritis. Mengamankan pendanaan yang memadai dan menetapkan regulasi yang jelas sangat penting untuk mendukung transformasi digital secara efektif. Analisis MICMAC juga mengidentifikasi hambatan penghubung, seperti "investasi awal yang tinggi dalam teknologi" dan "kompleksitas jaringan rantai pasokan," yang memiliki daya penggerak dan ketergantungan tinggi. Hambatan-hambatan ini merupakan pusat dinamika sistem dan sangat mempengaruhi proses transformasi digital. Model ISM mendukung ini dengan memposisikan hambatan-hambatan tersebut di persimpangan penting dalam struktur hierarkis. Penelitian ini juga menyediakan kerangka kerja untuk mengimplementasikan transformasi digital dalam sistem rantai pasokan CPO. Kerangka kerja ini menawarkan gambaran lanjutan dari lima tahap strategi transformasi digital, mengidentifikasi hambatan potensial pada setiap tahap. Ini menguraikan intervensi yang diperlukan dari pemerintah, akademisi, dan praktisi industri untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, dengan mempertimbangkan hubungan antar hambatan, daya penggerak, dan ketergantungannya. Meskipun memiliki kontribusi yang signifikan, penelitian ini juga memiliki keterbatasan dan menyarankan area untuk penelitian lebih lanjut.