Studi paleolingkungan merupakan rekonstruksi lingkungan masa lampau
berdasarkan proksi. Perubahan paleolingkungan di wilayah Indonesia Selatan
dipengaruhi oleh perubahan iklim dan laut global yang berkaitan dengan orbital
forcing (misalnya siklus glasial?interglasial) serta fenomena-fenomena hasil
interaksi atmosfer dan laut internal di wilayah tersebut, seperti Arus Lintas
Indonesia (Arlindo), Australian-Indonesian Monsoon (AIM), mekanisme El Niño
Southern Oscillation (ENSO)-like, dan mekanisme Indian Ocean Dipole (IOD)-
like. Terdapat perbedaan pada mekanisme perubahan paleoproduktivitas di zona
upwelling Jawa dan jalur keluar utama Arlindo (Laut Timor) selama Last Glacial
Maximum (LGM)–Holosen (26,5 ribu tahun terakhir). Berada pada pertemuan zona
upwelling Jawa dan jalur keluar minor Arlindo (Selat Sumba dan Selat Sawu),
mekanisme perubahan paleoproduktivitas di lautan sekitar Sumba selama LGM–
Holosen menarik untuk dipelajari. Perubahan paleoproduktivitas yang terjadi di
lautan sekitar Sumba dapat dipengaruhi baik oleh mekanisme yang terjadi di jalur
utama Arlindo, maupun di zona upwelling Jawa. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat paleoproduktivitas (AIM, ENSO-like, IOD-like, dan
kedalaman termoklin) menunjukkan perubahan pada skala milenial selama LGM–
Holosen. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan milenial
paleoproduktivitas di wilayah Indonesia Selatan, khususnya lautan sekitar Sumba.
Paleolingkungan terdiri dari beberapa aspek, misalnya paleoklimat,
paleoseanografi, paleoproduktivitas, dan paleobatimetri. Dalam penelitian ini,
paleoproduktivitas akan menjadi bahasan utama. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui mekanisme perubahan paleoproduktivitas dan perubahan-perubahan
paleolingkungan, terutama aspek paleoproduktivitas pada skala milenial di lautan
sekitar Sumba selama LGM–Holosen.
Penelitian ini menggunakan proksi sedimen, distribusi foraminifera, geokimia
(isotop oksigen dan karbon) cangkang foraminifera, dan rasio unsur dari inti-inti
sedimen yang diambil di lautan barat daya Sumba (ST08), lautan selatan Sumba
(ST10), dan Selat Sumba (ST14). Proksi sedimen dideskripsikan secara megaskopis
dan dianalisis besar butirnya untuk mengetahui mekanisme pengendapan.
Distribusi foraminifera digunakan sebagai penunjuk Sea Surface Temperature
(SST) menggunakan Modern Analogue Technique (MAT), sementara isotop
karbon (?13C) dari cangkang foraminifera, laju akumulasi, serta kelimpahannya
digunakan sebagai penunjuk parameter-parameter paleolingkungan lain (contohnya
kedalaman termoklin, paleoproduktivitas, kuat arus bawah laut, dan tingkat
oksigenasi bawah laut). Perbandingan unsur dihitung dari kandungan unsur hasil
analisis X-Ray Fluorescence (XRF) sebagai penunjuk input sedimen darat dan
intensitas pelapukan. Geokronologi dibuat berdasarkan pemodelan umur dengan
pendekatan Bayesian menggunakan data umur absolut dari penarikhan radiokarbon
(Accelerator Mass Spectrometry/AMS 14C) dan hasil pengikatan data ?18O
cangkang foraminifera (?18Oc) dengan Greenland Ice Core Chronology 2005
(GICC05). Data sekunder berupa temperatur, salinitas, ?18Oc, dan ?18O air laut
(?18Osw) dari berbagai titik lokasi di wilayah tropis Samudra Hindia Timur
digunakan untuk menentukan persamaan kalibrasi baru ?18Oc??18Osw terhadap SST
(Globigerinoides ruber).
Pada penelitian tahap akhir telah dilakukan determinasi foraminifera, analisis
terhadap data distribusi foraminifera (kelimpahan relatif, laju akumulasi, Modern
Analogue Technique), penarikhan radiokarbon, analisis ?18O dan ?13C pada
cangkang Globigerinoides ruber dan Uvigerina spp., serta pembuatan model umur
untuk mengetahui perubahan paleolingkungan dan mekanisme perubahan
paleoproduktivitas pada skala milenial di daerah penelitian. Selain itu, telah
dilakukan penentuan persamaan kalibrasi baru ?18Oc??18Osw terhadap SST
(Globigerinides ruber) untuk wilayah tropis Samudra Hindia Timur, yang
mencakup daerah penelitian.
Model perubahan paleoproduktivitas skala milenial di lautan sekitar Sumba selama
LGM–Holosen telah dibuat. Pada ST08, mekanisme perubahan paleoproduktivitas
sebagian besar dikontrol oleh kandungan nutrisi massa air SJC yang masuk
(dikontrol oleh AIM), merupakan mekanisme yang bersifat khas namun masih
dipengaruhi oleh arah aliran SJC seperti mekanisme di zona upwelling Jawa. Pada
ST10, mekanisme perubahan paleoproduktivitas sebagian besar serupa dengan
mekanisme di jalur utama Arlindo maupun kombinasi antara mekanisme di jalur
utama Arlindo dengan mekanisme di zona upwelling Jawa. Pada ST14, mekanisme
perubahan paleoproduktivitas yang terjadi sebagian besar serupa dengan
mekanisme di jalur utama Arlindo.
Pada periode-periode iklim berskala milenial selama LGM–Holosen terdapat
perubahan-perubahan paleolingkungan, terutama aspek paleoproduktivitas.
Paleoproduktivitas di ST08 relatif tinggi pada Deglasiasi Awal dan kemudian
berturut-turut relatif menurun pada HE1 hingga YD, relatif meningkat pada Pre-
Boreal/HTC 6, relatif menurun pada Boreal/HTC 5, relatif meningkat pada
HCO/HTC 4, dan relatif menurun pada HTC 3 hingga Sub-Atlantic/HTC 1.
Paleoproduktivitas di ST10 relatif tinggi pada LGM (termasuk di dalamnya periode
HE2 dengan paleoproduktivitas relatif setara dengan keseluruhan LGM) dan
kemudian relatif menurun pada Deglasiasi Awal hingga HE1, relatif tetap pada
ACR/B-A, relatif menurun pada YD, relatif meningkat pada Pre-Boreal/HTC 6
hingga Boreal/HTC 5, relatif menurun pada HCO/HTC hingga HTC 3, relatif
meningkat pada Sub-Boreal/HTC 2, dan relatif menurun pada Sub-Atlantic/HTC 1.
Paleoproduktivitas di ST14 relatif rendah pada LGM (termasuk di dalamnya
periode HE2 dengan paleoproduktivitas relatif lebih tinggi dibandingkan
keseluruhan LGM) dan kemudian relatif meningkat pada Deglasiasi awal, relatif
menurun pada hingga HE1, relatif meningkat ACR/B-A hingga YD, relatif
menurun pada Pre-Boreal/HTC 6 hingga Boreal/HTC 5, relatif meningkat pada
HCO/HTC 4, relatif menurun pada HTC 3, relatif meningkat pada Sub-Boreal/HTC
2, dan relatif menurun pada Sub-Atlantic/HTC 1.