COP28 (Konferensi Perubahan Iklim) di Dubai ditutup dengan kesepakatan yang
menandai “awal dari akhir” era bahan bakar fosil dan menghimbau pada para
pihak untuk bertindak dalam skala global untuk melipatgandakan kapasitas dari
energi terbarukan dan mempercepat kemajuan dalam efisiensi energi pada tahun
2030. Sehubungan dengan ini, Indonesia diyakini mempunyai potensi energi panas
bumi terbesar ke-2 di dunia. Namun pemanfaatannya sebagai pembangkit Listrik
masih cukup rendah dibandingkan dengan negara lain yang juga memiliki
Cadangan panas bumi. Indonesia hanya memanfaatkan sekitar 10% dari total
potensi yang dimiliki.
Tantangan datang dari nilai ekonomi proyek. Proyek panas bumi di dunia
didominasi oleh dua komponen bsear, yaitu Pembangunan pembangkit Listrik dan
pengerjaan sumur panas bumi. Konstruksi sumur dikaitkan dengan aktivitas yang
mahal dan memakan waktu, dengan proses pengeboran menjadi hal utama. Biaya
operasi pengeboran yang melibatkan peralatan pengeboran dan evaluasi formasi.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, biaya pembangunan sumur harus
diupayakan untuk dikurangi atau setidaknya dikelola untuk mempertahankan nilai
keekonomian proyek.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kriteria yang penting bagi operator
panas bumi atau pemilik proyek dalam memilih kontraktor pengeboran (rig
pengeboran) yang terkemuka dan andal. Untuk menentukan kriteria dan teknik
prioritas, dilakukan studi literatur, wawancara dengan pengambil keputusan
utama di perusahaan, kuesioner kepada para ahli perusahaan, dan survei kepada
praktisi industri. Empat kriteria utama—administratif, HSE (Kesehatan,
Keselamatan, dan Lingkungan), persyaratan teknis, dan komersial—diidentifikasi
untuk mendukung proses prioritas menggunakan Proses Hierarki Analitik (AHP).
Di antara empat belas sub-kriteria, tiga dengan bobot global tertinggi adalah
Kinerja HSE, Tarif, dan Sistem Pengendalian Sumur