digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK - Abdan Sakha Syakura
PUBLIC Alice Diniarti

Setiap bangunan harus direncanakan dengan tepat agar mampu menahan beban gravitasi dan beban gempa. Khusus beban gempa, beban ini tidak dapat diperkirakan secara akurat mengenai lokasi, waktu, dan besar magnitude yang dihasilkan, sehingga dapat dianggap sebagai fenomena alam yang bisa datang kapan saja dan dimana saja. Salah satu antisipasi yang dilakukan adalah memperbaharui peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang perencanaan struktur bangunan tahan gempa. Peraturan SNI yang diterbitkan adalah SNI 1726:2002, SNI 1726:2012, dan SNI 1726:2019. Hal mendasar yang dapat diamati dari peraturan lama ke peraturan terbaru adalah nilai percepatan gempa maksimum pada grafik spektrum respons desain di beberapa daerah yang cenderung meningkat. Sebagai contoh di Kota Jakarta dengan kondisi tanah sedang, nilai percepatan gempa maksimum sesuai SNI 2002 sebesar 0,55g, lalu sesuai SNI 2012 sebesar 0,57g, serta sesuai SNI 2019 sebesar 0,62g. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka sudah semestinya struktur bangunan yang direncanakan sesuai SNI lama harus segera dievaluasi menggunakan SNI terbaru. Dengan penggunaan metode evaluasi yang menerapkan konsep Performance Based Design (PBD) melalui metode Nonlinear Time History Analysis (NLTHA), maka setiap tipe elemen struktur harus dianalisis karakteristik nonliniernya agar kapasitas berdeformasinya dapat mengakomodir beban gempa. Struktur yang dievaluasi adalah struktur beton bertulang sistem ganda gedung 30 lantai di Kota Jakarta dengan kondisi tanah sedang. Pemodelan struktur dilakukan dengan menggunakan program Perform3D. Beban gempa terdiri atas dua tingkatan, yaitu Design Basis Earthquake (DBE) dan Maximum Considered Earthquake (MCE). Sebelas pasang time history aktual terlebih dahulu dilakukan penskalaan amplitudonya terhadap grafik spektrum respons. Model yang dianalisis terdiri atas tiga jenis, yaitu model praktis (model 1), model empiris (model 2), dan model konservatif (model 3). Hasil dari ketiga model tersebut dibandingkan melalui dua tahapan analisis. Tahapan analisis I membandingkan antara model praktis dan empiris yang diaplikasikan beban gempa time history sesuai SNI Gempa 2012, lalu ditentukan model mana yang konservatif. Tahapan analisis II membandingkan antara model konservatif yang diaplikasikan time history sesuai SNI Gempa 2012 dan 2019, lalu dilakukan evaluasi kinerja seismik terhadap peraturan terkait. Hasil secara global yang ditinjau berupa rasio simpangan atap, simpangan antar lantai maksimal, simpangan antar lantai residu, dan gaya geser lantai, sedangkan hasil secara lokal berupa tingkat kinerja elemen struktur melalui nilai usage ratio maksimal, distribusi pembentukan sendi plastis, dan kurva siklik. Pada tahapan analisis I, hasil kinerja seismik struktur secara global memiliki nilai yang hampir sama baik tingkat DBE maupun MCE. Hasil tersebut dapat terjadi karena setidaknya ada tiga alasan utama, yaitu adanya kesamaan kekakuan pada kurva backbone elemen struktur, distribusi pembentukan sendi plastis yield pasca gempa yang hampir sama, serta mayoritas elemen struktur balok induk masih dalam kondisi elastis. Sementara itu, hasil kinerja seismik struktur secara lokal memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pada tingkat DBE, perbandingan nilai usage ratio maksimal balok untuk model empiris sebesar 199,65% dan kolom sebesar 129,56%, distribusi pembentukan sendi plastis IO lebih banyak, serta kurva siklik balok tertentu menunjukkan kerusakan yang lebih parah terhadap model praktis. Pada tingkat MCE, perbandingan nilai usage ratio maksimal balok untuk model empiris sebesar 116,51% dan kolom sebesar 128,88%, distribusi pembentukan sendi plastis IO dan LS jauh lebih banyak, serta kurva siklik balok tertentu mengalami degradasi kekuatan secara mendadak. Daktilitas elemen struktur balok dan kolom ternyata sangat mempengaruhi hasil kinerja secara lokal. Model empiris dianggap sebagai model konservatif karena memberikan kondisi pasca gempa yang lebih parah, sehingga dapat digunakan pada tahapan analisis II. Jadi, para praktisi mulai dapat mencoba menggunakan pendekatan model empiris karena memberikan tingkat kinerja dan kurva siklik yang lebih realistis daripada model praktis. Pada tahapan analisis II, hasil kinerja seismik struktur secara global dan lokal dapat dibandingkan. Model empiris dengan time history sesuai SNI Gempa 2019 memberikan hasil kinerja yang lebih besar dan perbedaannya cukup signifikan karena terdapat perbedaan faktor skala amplitudo sebesar 37% terhadap model empiris dengan time history sesuai SNI Gempa 2012. Hasil evaluasi kinerja secara global menunjukkan bahwa rasio simpangan atap tidak lebih dari 1% pada tingkat DBE dan 2% pada tingkat MCE, simpangan antar lantai maksimal tidak lebih dari 3% sesuai SNI Gempa 2019, simpangan antar lantai residu tidak lebih dari 1% sesuai TBI 2017, dan gaya geser lantai tidak lebih dari hasil persamaan sesuai ASCE 7-16. Hasil evaluasi kinerja secara lokal menunjukkan bahwa nilai usage ratio maksimal, distribusi pembentukan sendi plastis, dan kurva siklik belum mencapai tingkat kinerja LS pada tingkat DBE dan tingkat kinerja CP pada tingkat MCE sehingga masih dalam kondisi aman saat diaplikasikan time history sesuai SNI Gempa terbaru. Dengan demikian, penggunaan metode spektrum respons ragam pada desain struktur aktual sesuai SNI 1726:2012 masih memenuhi kapasitas deformasi struktur setidaknya untuk SNI 1726:2019, tetapi sudah semestinya hasil kinerja khususnya secara lokal harus dievaluasi kembali apabila terjadi peningkatan percepatan gempa pada SNI 1726:20xx di masa mendatang.