Terdapat dua sektor klien dalam hal pengadaan pekerjaan konstruksi. Sistem pemilihan penyedia jasa konstruksi yang berjalan selama ini di kedua sektor pun membawa perbedaan dan keunikan masing-masing. Referensi dari penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat banyak permasalahan yang muncul pada sistem pengadaan di sektor publik begitu pula pada sektor swasta. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada dari pengadaan konstruksi di sektor publik dan juga sektor swasta serta menemukan permasalahan umum yang sering terjadi di tiap sektor untuk kemudian membuat sebuah sistem pemilihan penyedia jasa konstruksi yang meninjau manfaat dan pencegahan masalah dari masing-masing sektor. Penelitian ini dilakukan dengan meninjau sudut pandang kontraktor/penyedia jasa konstruksi. Penelitian dilakukan melalui tiga fase pengambilan data yaitu data kuantitatif berupa skala Likert untuk verifikasi value yang ada pada pengadaan di tiap sektor yang dimuat dalam kuesioner, data kualitatif berupa permasalahan pada pengadaan di tiap sektor beserta solusinya yang dimuat dalam wawancara, serta data kualitatif evaluasi dari sistem pemilihan penyedia jasa konstruksi proposisi berupa wawancara yang dilakukan kepada para peneliti di bidang pengadaan. Bagian pertama dari penelitian ini menghasilkan matriks perbandingan pengadaan di sektor publik dan sektor swasta dan matriks masalah dan solusi dalam pengadaan di kedua sektor. Analisis utama terkait perbedaan pada sistem pengadaan di sektor swasta dan juga sektor publik adalah berkaitan dengan fleksibilitasnya. Pada sektor publik, fleksibilitas baik dari segi peraturan, jadwal, maupun metode cenderung kecil karena semua hal sudah diatur secara rinci dan kaku dalam peraturan perundang-undangan. Pada sektor swasta, justru terjadi sebaliknya. Meskipun sebagian besar perusahaan swasta sudah mempunyai SOP terkait pengadaan yang boleh saja mengadopsi sistem di sektor pemerintahan, pelaksanaan pengadaan yang terjadi masih tetap sangat fleksibel. Pada banyak kasus, tingkat fleksibilitas justru terlalu tinggi sehingga muncul banyak ketidakpastian. Dari analisis yang dilakukan, berbagai cara dan perbedaan peraturan yang ada di kedua sektor sebenarnya dilakukan sama-sama untuk meraih kepercayaan (trust) dari klien atau pemilik proyek. Dalam
rangka meraih trust ini, kedua sektor mempunyai caranya masing-masing untuk menerjemahkan konsep trust. Di sektor pemerintah/publik, trust diterjemahkan dengan serangkaian peraturan dan regulasi yang rinci sehingga klien dapat memberikan kepercayaan kepada calon penyedia jasanya yang telah memenuhi semua kriteria yang disyaratkan oleh peraturan yang ada, sedangkan pada sektor swasta trust biasanya dapat berbentuk relasi maupun koneksi serta ikatan kerja sama di masa lalu. Berikutnya dibuat sebuah sistem pemilihan penyedia jasa konstruksi yang mengakomodasi perbedaan dan penanganan masalah yang ditemukan dari pengadaan di kedua sektor. Sistem pemilihan penyedia jasa konstruksi proposisi ini merupakan sistem yang bertujuan untuk mendapatkan penyedia jasa konstruksi yang memiliki kesamaan nilai/value paling baik dengan klien melalui serangkaian tahapan yang bertujuan menumbuhkan trust dengan mendalami latar belakang masing-masing calon penyedia jasa. Sistem pemilihan ini dirancang untuk diikuti oleh tiga pihak yaitu klien, calon penyedia jasa, dan panitia pengadaan yang bergerak di bawah klien. Tahapan dari sistem pemilihan ini terdiri dari (1) perjanjian awal; (2) studi dokumen proyek; (3) ulasan performa; (4) asesmen risiko dan value engineering; (5) wawancara; (6) submission; (7) cost prioritization; (8) pre-award; dan (9) perjanjian kontrak. Hasil dari sistem pemilihan penyedia jasa konstruksi proposisi yang sudah dibuat harapannya dapat menjadi acuan atau pedoman para stakeholders di bidang konstruksi dalam memilih metode pemilihan penyedia jasa. Walaupun demikian, memerlukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan untuk kemudian dapat dikatakan cukup potensial untuk diterapkan dengan potensi tantangan terbesar ada pada sumber daya manusia yang sudah terlanjur nyaman dengan sistem pengadaan yang sudah ada dan cenderung enggan mempelajari sistem-sistem baru.