digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Beragam variabel ukuran kota sehat di Indonesia menyebabkan biasnya intervensi kebijakan di skala kota yang perlu diambil dalam mewujudkannya. Pada konteks perencanaan kota, perwujudan kota sehat sulit menjadi prioritas karena belum adanya variabel khusus yang menjadi sasaran intervensi dalam instrumen perencanaan tata ruang. Perumusan seperangkat variabel lingkungan binaan yang sehat dan indikatornya dapat menangkap hubungan kausatif tersebut dan menerapkannya pada kebijakan tata ruang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menyusun model penilaian objektif lingkungan binaan yang sehat pada konteks tata ruang dalam konsep kota sehat. Model penilaian objektif yang dieksplorasi mengambil penelitian satu kasus, yaitu di Kota Semarang dengan metode kuantitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kota sehat menggunakan paradigma healthy built environment yang memandang bahwa populasi sehat dapat dicapai dengan mempromosikan gaya hidup sehat, meningkatkan kualitas hidup, kemakmuran, dan kemajuan peradaban, melalui lingkungan binaan. Penelitian ini telah menyusun model penilaian objektif lingkungan binaan yang sehat dari jumlah penyakit menular dengan studi kasus di Kota Semarang. Kota Semarang dibagi menjadi 1966 sel heksagon untuk membantu perhitungan nilai setiap variabel lingkungan binaan. Tiga belas variabel dibagi menjadi tiga tingkatan lingkungan binaan, yaitu lingkungan alam, lingkungan terbangun, dan aktivitas dengan variabel kontrol jumlah penduduk yang sebarannya terdistribusi mendekati pola Poisson. Indeks Global Moran’s I 0,671 yang mengindikasikan adanya kondisi autokorelasi spasial. Model penilaian objektif disusun dengan Geographically Weighted Regression (GWR) dengan persentase deviansi terjelaskan 87,6% dapat disusun sebagai instrumen dalam mengukur kondisi lingkungan binaan di skala yang lebih kecil daripada kelurahan. Berdasarkan estimasi rata-rata model lokal, kontribusi di setiap tingkatan lingkungan binaan berbeda-beda persentasenya. Pengaruh terbesar yang ditemukan adalah jumlah penduduk sebagai variabel kontrol, yaitu sebesar 60,39%. Pengaruh tingkatan lingkungan terbangun adalah yang paling besar di antara tingkatan lingkungan binaan lainnya, sebesar 22,68%. Lingkungan alam memiliki kontribusi sebesar 10,52%. Sementara yang paling kecil pengaruhnya adalah di tingkat aktivitas, hanya sebesar 6,41%. Lingkungan binaan dinilai berdasarkan kategori jumlah penyakit menularnya mulai dari Sangat Sehat hingga Tidak Sehat. Rata-rata lingkungan binaan di Kota Semarang dinilai Sangat Sehat, hanya intensitas simpangan jalan yang dinilai dengan kategori Sehat. Namun, hasil yang berbeda terlihat saat mengukurnya di tingkat sel yang menemukan adanya lingkungan binaan yang berkategori Tidak Sehat di sel-sel dengan kasus tertinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa kasus adanya spatial non-stationary dari lingkungan binaan terhadap kasus penyakit menular. Hasil refleksiii kategori tersebut dengan jumlah penyakit menular di Kota Semarang, menunjukkan 52,54% sel dikategorikan Sangat Sehat, 11,39% Sehat, 4,18% Kurang Sehat, dan 28,07% Tidak Sehat. Pusat Kota Semarang menjadi klaster sel yang tidak sehat yang menggambarkan sulitnya mendapatkan kondisi yang sehat di kawasan perkotaan. Sejalan dengan hal tersebut, sel dengan kategori Sangat Sehat sebagian besar berada di pinggiran kota. Namun secara agregat, Kota Semarang masih layak dikatakan sebagai kota yang sehat dan sesuai dengan capaiannya mendapatkan penghargaan Swasti Saba. Penilaian dari skala yang lebih kecil dapat menghindari pengabaian kondisi yang lebih rinci daripada penilaian dengan skala yang lebih besar, seperti di tingkat kecamatan maupun kota. Instrumen penilaian yang disusun dengan model pada penelitian ini dapat dikatakan sebagai penilaian yang objektif dan adaptif untuk lingkungan binaan yang sehat. Kebaruan yang dihadirkan dalam penelitian ini adalah model penilaian lingkungan binaan yang bersifat kausatif terhadap salah satu keluaran kesehatan, yaitu jumlah kasus penyakit menular. Penelitian ini mampu menggunakan model lokal GWR sebagai dasar dalam menyusun indikator penilaian yang dinamis di skala lokal pada konteks tata ruang