Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus akut telah terjadi berulang kali
sehingga langkah antisipasi perlu dipersiapkan. Selama pandemi berlangsung
tenaga kesehatan harus memakai alat pelindung diri (APD) untuk mengurangi
risiko tertular. Namun demikian, penggunaannya menimbukan efek samping
berupa ketidaknyamanan termal dan munculnya respon fisiologis yang berlebihan.
Penggunaan APD di lingkungan kerja yang panas berpotensi menimbulkan heat
stress yang mengakibatkan gangguan kognitif, kelelahan, peningkatan beban kerja,
penurunan produktivitas, serta kecelakaan kerja. Beberapa riset telah
menginvestigasi dampak negatif penggunaan APD. Namun demikian, belum
memberikan informasi yang memadai tentang tingkat heat stress pada penggunaan
APD di Indonesia. Intervensi administratif dan engineering dapat memperbaiki
ketidaknyamanan termal yang terjadi, namum demikian tidak bisa dilakukan dalam
kondisi darurat atau kekurangan tenaga kesehatan. Beberapa penelitian telah
memperbaiki ketidaknyamanan termal penggunaan APD dengan memperbaiki
desain ensemble APD, namun belum sepenuhnya mengintegrasikan desain
ensemble APD, cooling device, dan cooling wear yang cocok untuk derah tropis.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi dan memperbaiki desain ensemble APD
untuk penanganan virus sehingga dapat mengurangi ketidaknyamanan termal dan
respon fisiologis penggunanya. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu: Tahap
I mengidentifikasi masalah dengan mengevaluasi penggunaan ensemble APD di
lingkungan tropis dan dampaknya terhadap ketidaknyamanan termal dan respon
fisiologis. Penelitian Tahap II melakukan intervensi untuk mengurangi dampak
negatif penggunaan APD dengan memperbaiki desain ensemble APD. Ensemble
APD yang dihasilkan diharapkan memenuhi persyaratan teknis dan nyaman dipakai
sehingga dapat menunjang kinerja tenaga kesehatan.
Studi dilakukan dengan pendekatan eksperimen laboratorium. Penelitian Tahap I
dimulai dengan menguji karakteristik teknis dan kenyamanan termal material tekstil
APD. Ensemble APD dengan karakteristik terbaik dipakai untuk eksperimen. Dua
belas partisipan terlibat dalam eksperimen ini. Partisipan melakukan 3 langkah
aklimatisasi dan upaya fisik yang mewakili aktivitas tenaga kesehatan pada saat
ii
bekerja. Eksperimen dilakukan pada 3 kondisi lingkungan kerja yang terdiri dari:
suhu (20 ± 2) oC, suhu (25 ± 2) oC, dan suhu (30 ± 2) oC dengan kelembaban relatif
(50 ± 10)%. Parameter yang diukur meliputi kondisi iklim mikro (suhu dan
kelembaban), ketidaknyamanan termal (sensasi panas dan sensasi basah), respon
fisiologis (suhu inti tubuh, suhu kulit, denyut jantung, konsumsi oksigen, tekanan
darah dan intensitas keringat). ANOVA satu arah (p = 0,05) digunakan untuk
menganalisis pengaruh kondisi lingkungan terhadap parameter yang diuji. Hasil
penelitian tahap I adalah data karakteristik material tekstil, ketidaknyamanan termal
dan respon fisiologis yang dijadikan dasar untuk perbaikan desain ensemble APD.
Hasil eksperimen Tahap I menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
suhu lingkungan kerja (20 oC, 25 oC dan 30 oC) terhadap suhu dan kelembaban iklim
mikro, sensasi ketidaknyamanan panas dan basah, suhu inti tubuh, suhu kulit,
denyut jantung, tekanan darah sistolik serta intensitias keringat. Terjadi tren
kenaikan tingkat ketidaknyamanan termal dan respon fisiologis dari suhu
lingkungan kerja 20 oC sampai 30 oC. Pada suhu lingkungan kerja 30 oC, suhu iklim
mikro mendekati 34 oC dan kelembaban relatif mencapai 100%, sensasi
ketidaknyamanan panas dan basah mencapai -3 (sangat tidak nyaman), suhu inti
tubuh mencapai lebih dari 38 °C, serta denyut jantung tertinggi mencapai 132 bpm.
Permasalahan yang terjadi adalah panas tubuh dan keringat terakumulasi di iklim
mikro antara tubuh dan pakaian karena tertahan oleh APD yang menutupi hampir
seluruh tubuh dan dibuat dari material tekstil yang impermeable.
Permasalahan yang terjadi pada penggunaan APD adalah kondisi iklim mikro
antara tubuh dan pakaian (suhu dan kelembaban) yang tinggi disebabkan oleh panas
tubuh dan uap keringat yang tidak bisa ditransfer ke lingkungan sehingga perlu
diintervensi pada penelitian Tahap II. Intervensi pertama memperbaiki desain
ensemble APD yang terdiri dari seragam medis dan coverall medis yang
memudahkan buang air kecil dan bisa digunakan beberapa kali. Intervensi
selanjutnya adalah membuat perangkat untuk menurunkan suhu dan kelembahan
iklim mikro. Perangkat pertama adalah cooling wear yang terdiri dari rompi
berbahan kain mesh yang dilengkapi phase change material (PCM) suhu 23 oC.
Perangkat berikutnya adalah cooling device yang mampu mengalirkan udara bersih
terkondisi 23 – 27 oC ke dalam iklim mikro antara tubuh dan pakaian dan membawa
panas serta uap keringat ke lingkungan.
Hasil uji coba prototipe ensemble APD pada suhu lingkungan 30 oC dan RH 50%
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan penambahan cooling wear dan
cooling device terhadap kenyamanan termal dan respon fisiologis. Penambahan
cooling wear secara signifikan mampu menurunkan suhu iklim mikro, intensitas
keringat serta memperbaiki sensasi ketidaknyamanan panas dan basah tetapi tidak
berpengaruh terhadap kelembaban iklim mikro, suhu kulit, suhu inti tubuh, denyut
jantung, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan konsumsi oksigen.
Penambahan cooling device secara signifikan mampu menurunkan suhu dan
kelembaban iklim mikro, suhu kulit, suhu inti tubuh, denyut jantung, tekanan darah
sistolik, intensitas keringat serta memperbaiki sensasi ketidaknyamanan panas dan
basah tetapi tidak berpengaruh terhadap tekanan darah diastolik dan konsumsi
oksigen. Berdasarkan analisis di atas bahwa penggunaan cooling device
iii
memberikan efek lebih baik terhadap kenyamanan penggunaan ensemble APD
daripada cooling wear.
Implikasi penelitian ini dalam konteks manjemen penanganan penyakit akibat virus
terdiri dari: Pertama tersedianya data tingkat ketidaknyamanan termal dan profil
respon fisiologis yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
menangani penyakit akibat virus. Kedua tersedianya ensemble APD yang nyaman
di lingkungan tropis dapat diproduksi masal dan digunakan tenaga kesehatan
sehingga terhindar dari risiko heat stress, bekerja lebih produktif, dan terhindar dari
kesalahan. Beberapa riset lanjutan, yaitu: aspek studi kelayakan produksi, aspek
pengujian kesesuaian dengan persyaratan tertentu, dan aspek formal perijinan. Hasil
penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan bagi
pemangku kepentingan seperti Kementerian Kesehatan, rumah sakit, dan produsen
APD untuk penanganan virus berbahaya.