digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Efek samping obat (ESO) merupakan semua respons terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan, yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologis. Efek samping obat dipengaruhi oleh jenis penyakit yang dialami, jumlah obat yang dikonsumsi, dan lama penggunaan obat. Potensi kejadian ESO lebih tinggi terjadi pada pasien lanjut usia (lansia) karena multikomorbiditas penyakit dan polifarmasi. Salah satu penyakit yang banyak diderita pasien lansia adalah diabetes melitus (DM) tipe 2, yang dapat berkembang menjadi komplikasi kardiovaskular dan gangguan ginjal. Pada tahun 2020, prevalensi pasien DM tipe 2 di Indonesia masih tinggi (11,3%), yang merupakan peringkat ke-3 tertinggi di Asia Tenggara. Oleh karena itu, evaluasi pelaporan ESO, khususnya pasien diabetes melitus tipe 2 penting untuk dilakukan. Selain itu, seiring dengan perkembangan teknologi, konsep penggunaan aplikasi selular dan layanan konsultasi jarak jauh untuk pasien juga turut berkembang. Perkembangan teknologi tersebut dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pelaporan ESO oleh pasien. Efek samping obat yang dialami pasien perlu dilaporkan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan kepada tim farmakovigilans di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Telah diketahui bahwa tingkat pelaporan ESO masih rendah di Indonesia yang disebabkan rendahnya kesadaran pelaporan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan serta kurangnya pengetahuan mengenai sistem pelaporan yang berlaku. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model intervensi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta pasien untuk meningkatkan kesadaran pelaporan ESO, khususnya di wilayah Kota Bandung. Penelitian ini menerapkan desain mixed-methods, yang dibagi menjadi 3 tahap. Penelitian tahap 1 dan 3 merupakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian tahap 2 merupakan penelitian kualitatif. Penelitian tahap 1 menggunakan desain studi cross-sectional (potong lintang) berupa survei dengan kuesioner kepada 2 kelompok subjek yaitu pasien diabetes melitus tipe 2, dan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dari 122 tenaga medis dan tenaga kesehatan, sebagian besar memiliki pengetahuan yang baik (53,3%), tetapi menunjukkan sikap pelaporan ESO yang negatif (77,9%). Pengalaman tentang pelaporan ESO didominasi kegiatan pelaporan ke tim internal (79,6%) dibandingkan dengan pelaporan ke tim farmakovigilans di BPOM. Dari seluruh subjek tenaga medis dan tenaga kesehatan, hanya ada 7 subjek yang pernah melaporkan ESO ke BPOM. Tujuh subjek tersebut terdiri dari 6 apoteker dan 1 orang dokter spesialis yang semuanya berpraktik di rumah sakit. Pada subjek pasien diabetes melitus tipe 2, terdapat 170 pasien yang mengisi kuesioner, dan 54 pasien (84,4%) diantaranya pernah melaporkan ESO kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan, khususnya kepada dokter. Subyek pasien memiliki pengetahuan yang baik mengenai pelaporan ESO kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan (74,1%), dan sikap pelaporan ESO yang positif yaitu sebesar 65,3%. Penelitian pada subjek pasien kemudian diperluas ke masyarakat umum untuk mengidentifikasi potensi pemanfaatan aplikasi seluler sebagai salah satu metode alternatif pelaporan ESO. Dari penelitian terhadap 419 subjek, didapatkan hasil bahwa sebanyak 54,9% masyarakat tertarik dan 31,7% sangat tertarik menggunakan aplikasi seluler untuk pelaporan ESO. Penelitian dilanjutkan ke tahap 2 dengan desain studi kualitatif metode diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Penelitian ini difokuskan pada tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan mempertimbangkan hasil dari penelitian tahap 1 dan peraturan yang berlaku di Indonesia, yang menunjukkan peran penting tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam proses pelaporan ESO. Penelitian tahap 2 bertujuan untuk menganalisis pola kolaborasi antarprofesi (interprofessional collaboration) yang optimal untuk meningkatkan pelaporan ESO. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa apoteker diharapkan berperan besar sebagai ujung tombak dalam pelaporan ESO ke BPOM. Dokter dan perawat lebih dominan berperan pada penanganan dan pengelolaan ESO. Perawat berperan sebagai pihak pertama yang menerima laporan ESO, dokter memegang peranan kunci untuk menangani, mengubah, atau merekomendasikan saran terapi sebagai hasil dari kolaborasi dengan apoteker dan perawat. Dari hasil penelitian tahap 1 dan 2, didapatkan rancangan model intervensi yang sesuai untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan. Penelitian tahap 3 bertujuan untuk menguji efektivitas intervensi edukasi terhadap perubahan sikap tenaga medis dan kesehatan mengenai pelaporan ESO. Model intervensi yang disusun pada tahap 3 berupa edukasi jarak jauh menggunakan website, pengingat rutin, dan formulir skrining awal laporan ESO. Desain studi pada tahap ini adalah quasi experimental non randomized pretest postest design. Penelitian diawali dengan pembuatan website, dilanjutkan dengan uji fungsionalitas website dan uji efektivitas kegiatan intervensi. Dari hasil uji fungsionalitas terhadap 18 subyek, website telah dapat digunakan dengan baik yang ditunjukkan dengan skor SUS 86 dari 100, dan SEQ 6,56 dari 7. Setelah pengujian fungsionalitas website, uji efektivitas intervensi diterapkan kepada 81 tenaga medis dan tenaga kesehatan. Uji efektivitas dilakukan selama 3 kali dalam rentang 3 minggu (1 minggu 1 kali) dan pengingat rutin sebanyak 1 kali setiap minggunya. Pada website juga tersedia laporan skrining awal pelaporan ESO. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan sikap peserta mengenai pelaporan ESO diantara kelompok kontrol dan intervensi (p<0,001). Selain itu, 9 subyek terdorong untuk melaporkan ESO selama periode intervensi dengan angka pelaporan ESO total sebanyak 48 laporan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa intervensi edukasi jarak jauh menggunakan website dapat meningkatkan kesadaran pelaporan ESO tenaga medis dan tenaga kesehatan.