Hujan es merupakan salah satu salah satu fenomena cuaca ekstrem yang sering
terjadi di Indonesia, dengan 215 kejadian tercatat dari tahun 2010 hingga 2023.
Fenomena ini menyebabkan kerusakan pada pertanian dan properti, yang
menyebabkan kerugian ekonomi dan cedera. Prediksi terjadinya fenomena hujan es
menjadi tantangan saat ini termasuk dalam hal memprediksi kejadian hujan es
karena keterbatasan pengamatan dan metode deteksi. Peningkatan prediksi cuaca
terus dilakukan salah satunya dengan cara mengombinasikan data observasi dengan
hasil prediksi jangka pendek sebelumnya. Perbaikan model dengan asimilasi
reflektivitas dan kecepatan radial radar dapat meningkatkan initial condition uap
air dan kecepatan angin yang berpotensi memengaruhi pembentukan awan
konvektif hingga terjadinya hujan.
Penelitian ini menggunakan model prediksi cuaca numerik regional Weather
Research and Forecasting Data Assimilation (WRFDA) dengan metode 3DVar.
Data asimilasi yang digunakan adalah data reflektivitas dan kecepatan radial dari
Radar Cuaca C-Band milik BMKG di Surabaya dan Medan. Hujan es di Surabaya
diinjuksi oleh faktor skala besar (large scale), sedangkan hujan es di Medan oleh
faktor lokal. Secara kesuluruhan penelitian ini dapat membuktikan bahwa asimilasi
data radar lebih baik daripada tanpa asimilasi. Namun, terdapat sensitivitas dalam
proses asimilasi data radar, bahwa di Surabaya hasil terbaik didapatkan ketika
hanya mengasimilasi data radar reflektivitas saja, sedangkan di Medan dengan
mengasimilasi data reflektivitas dan kecepatan radial. Hasil terbaik ketika dihitung
dari FSS diperoleh oleh eksperimen Surabaya yang diinjuksi oleh faktor skala
besar. Nilai FSS ketika diasimilasi dengan data radar mencapai 0.7, sedangkan nilai
FSS terburuk ketika tanpa asimilasi dengan nilai hanya 0.1. Distribusi nilai MESH
kasus hujan es Surabaya maupun Medan memiliki ketepatan spasial dari area hujan
es yang terjadi ketika menggunakan asimilasi data radar dibandingkan tanpa
asimilasi. Secara spesifik eksperimen asimilasi data radar hujan es di Surabaya
mampu menghitung MESH mencapai 10 mm dengan MESH observasi berkisar >10
mm.