digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Achmad Nagi
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Pada skala regional, kejadian pemutihan karang disebabkan naiknya suhu laut akibat pemanasan global. Kenaikan suhu sebesar 1-2°C saja (suhu anomali) selama 2-4 minggu di atas suhu maksimum rata-rata jangka panjang (suhu normal) bisa menyebabkan pemutihan karang, dan dalam waktu yang lebih panjang akan menyebabkan karang mati. Seiring terjadinya pemanasan global, ada peristiwa pemanasan laut jangka pendek yang ekstrim dikenal sebagai Marine Heatwaves (MHWs). MHWs merupakan periode dimana suhu laut meningkat secara ekstrem yang berlangsung sedikitnya selama lima hari berturut-turut, dalam cakupan hingga ratusan kilometer dan kedalaman hingga ratusan meter. MHWs memberi dampak pada berbagai sistem di alam, baik sistem fisis, sistem hayati maupun tatanan ekonomi pada sektor maritim. Secara global, sepanjang abad ke-20 tren kejadian MHWs telah mengalami peningkatan. Meski demikian, belum terdapat banyak literatur yang menganalisis sebaran spasial tren MHWs di wilayah Indonesia yang dikaitkan dengan degradasi terumbu karang. Kajian mengenai pengaruh tren MHWs terhadap degradasi terumbu karang di perairan Lombok dan Spermonde perlu dilakukan seiring dengan perubahan iklim akibat pemanasan global yang sedang berlangsung. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh kejadian MHWs terhadap degradasi karang, serta faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang di Perairan Lombok dan Spermonde. Daerah kajian pada penelitian ini adalah wilayah Perairan Pulau Lombok yang mencakup pada koordinat 08°10’00”-09°00’00” LS dan 115°50’00” - 116°40’00” BT, serta Perairan Kepulauan Spermonde yang terletak pada koordinat 4°28'00” - 5°32'00” LS dan 119°31'00” - 120°13'00” BT. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data MHWs dan Citra Landsat. Data MHWs yang digunakan pada penelitian ini adalah mencakup matriks frekuensi, intensitas dan durasi. Citra yang digunakan adalah citra Landsat dengan resolusi spasial 30 m yang memiliki tutupan awan kurang dari 10%. Koreksi citra untuk menghilangkan gangguan-gangguan yang terjadi saat perekaman citra. Nilai reflektan yang dihasilkan oleh proses kalibrasi radiometrik diubah ke dalam nilai reflektan permukaan (?permukaan). ?permukaan selanjutnya menjadi data masukan (input) dari algoritma Lyzenga dengan terlebih dahulu memisahkan region daratan dan lautan agar pengolahan hanya diproses pada area lautan saja. Citra hasil transformasi Lyzenga dilakukan pixel based classification untuk mendapatkan nilai luasan tutupan terumbu karang setiap tahunnya. Analisis antara kejadian MHWs dengan perubahan luasan tutupan karang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kejadian MHWs dan perubahan luasan tutupan terumbu karang. Seluruh matriks MHWs dan luasan tutupan karang dianalisis secara spasio-temporal untuk melihat fluktuasi antar keduanya. Berdasarkan data, di Lombok, frekuensi rata-rata MHWs adalah 1,77 kejadian per tahun dengan intensitas rata-rata 1,23°C, durasi rata-rata 9,31 hari, dan jumlah hari rata-rata 20,60 hari. Frekuensi tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan 8 kejadian, intensitas tertinggi pada tahun 1998 sebesar 1,81°C, dan jumlah hari tertinggi pada tahun 2016 mencapai 164 hari. Di Spermonde, frekuensi rata-rata MHWs adalah 2,52 kejadian per tahun dengan intensitas rata-rata 1,14°C, durasi rata-rata 8,25 hari, dan jumlah hari rata-rata 23,57 hari. Frekuensi tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan 9 kejadian, intensitas tertinggi pada tahun 1998 sebesar 1,78°C, dan jumlah hari tertinggi pada tahun 2022 mencapai 109 hari. Analisis terhadap luasan tutupan terumbu karang menunjukkan rata-rata luas tutupan di Lombok sebesar 12.851,75 hektar dan di Spermonde sebesar 1.178,25 hektar. Penurunan tutupan karang terbesar di Lombok terjadi pada tahun 1999, dari 36.550,71 hektar pada tahun 1998 menjadi 6.724,98 hektar. Di Spermonde, penurunan terbesar terjadi pada tahun 2021, dari 2.119,41 hektar pada tahun 2020 menjadi hanya 218,25 hektar. Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi antara kejadian MHWs dan penurunan luas tutupan terumbu karang. Tahun-tahun dengan frekuensi, intensitas, dan durasi MHWs yang tinggi bertepatan dengan penurunan signifikan luasan terumbu karang. Selain itu, fenomena iklim seperti ENSO dan IOD turut berkontribusi terhadap variabilitas MHWs dan kondisi terumbu karang. Tahun-tahun peluruhan El Niño, seperti 1998 dan 2016, menunjukkan peningkatan intensitas dan durasi MHWs yang signifikan, yang pada gilirannya memperburuk kondisi terumbu karang. Variabilitas iklim ini menambah tekanan termal pada ekosistem terumbu karang, yang sudah rentan akibat perubahan suhu yang ekstrem dan berkepanjangan.