Pada skala regional, kejadian pemutihan karang disebabkan naiknya suhu laut
akibat pemanasan global. Kenaikan suhu sebesar 1-2°C saja (suhu anomali) selama
2-4 minggu di atas suhu maksimum rata-rata jangka panjang (suhu normal) bisa
menyebabkan pemutihan karang, dan dalam waktu yang lebih panjang akan
menyebabkan karang mati. Seiring terjadinya pemanasan global, ada peristiwa
pemanasan laut jangka pendek yang ekstrim dikenal sebagai Marine Heatwaves
(MHWs). MHWs merupakan periode dimana suhu laut meningkat secara ekstrem
yang berlangsung sedikitnya selama lima hari berturut-turut, dalam cakupan hingga
ratusan kilometer dan kedalaman hingga ratusan meter. MHWs memberi dampak
pada berbagai sistem di alam, baik sistem fisis, sistem hayati maupun tatanan
ekonomi pada sektor maritim. Secara global, sepanjang abad ke-20 tren kejadian
MHWs telah mengalami peningkatan. Meski demikian, belum terdapat banyak
literatur yang menganalisis sebaran spasial tren MHWs di wilayah Indonesia yang
dikaitkan dengan degradasi terumbu karang. Kajian mengenai pengaruh tren
MHWs terhadap degradasi terumbu karang di perairan Lombok dan Spermonde
perlu dilakukan seiring dengan perubahan iklim akibat pemanasan global yang
sedang berlangsung. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis
bagaimana pengaruh kejadian MHWs terhadap degradasi karang, serta faktor yang
menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang di Perairan Lombok dan
Spermonde.
Daerah kajian pada penelitian ini adalah wilayah Perairan Pulau Lombok yang
mencakup pada koordinat 08°10’00”-09°00’00” LS dan 115°50’00” - 116°40’00”
BT, serta Perairan Kepulauan Spermonde yang terletak pada koordinat 4°28'00” -
5°32'00” LS dan 119°31'00” - 120°13'00” BT. Data utama yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu data MHWs dan Citra Landsat. Data MHWs yang digunakan
pada penelitian ini adalah mencakup matriks frekuensi, intensitas dan durasi. Citra
yang digunakan adalah citra Landsat dengan resolusi spasial 30 m yang memiliki
tutupan awan kurang dari 10%.
Koreksi citra untuk menghilangkan gangguan-gangguan yang terjadi saat
perekaman citra. Nilai reflektan yang dihasilkan oleh proses kalibrasi radiometrik
diubah ke dalam nilai reflektan permukaan (?permukaan). ?permukaan selanjutnya
menjadi data masukan (input) dari algoritma Lyzenga dengan terlebih dahulu
memisahkan region daratan dan lautan agar pengolahan hanya diproses pada area
lautan saja. Citra hasil transformasi Lyzenga dilakukan pixel based classification
untuk mendapatkan nilai luasan tutupan terumbu karang setiap tahunnya.
Analisis antara kejadian MHWs dengan perubahan luasan tutupan karang dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara kejadian MHWs dan perubahan luasan tutupan
terumbu karang. Seluruh matriks MHWs dan luasan tutupan karang dianalisis
secara spasio-temporal untuk melihat fluktuasi antar keduanya.
Berdasarkan data, di Lombok, frekuensi rata-rata MHWs adalah 1,77 kejadian per
tahun dengan intensitas rata-rata 1,23°C, durasi rata-rata 9,31 hari, dan jumlah hari
rata-rata 20,60 hari. Frekuensi tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan 8 kejadian,
intensitas tertinggi pada tahun 1998 sebesar 1,81°C, dan jumlah hari tertinggi pada
tahun 2016 mencapai 164 hari. Di Spermonde, frekuensi rata-rata MHWs adalah
2,52 kejadian per tahun dengan intensitas rata-rata 1,14°C, durasi rata-rata 8,25
hari, dan jumlah hari rata-rata 23,57 hari. Frekuensi tertinggi terjadi pada tahun
2016 dengan 9 kejadian, intensitas tertinggi pada tahun 1998 sebesar 1,78°C, dan
jumlah hari tertinggi pada tahun 2022 mencapai 109 hari.
Analisis terhadap luasan tutupan terumbu karang menunjukkan rata-rata luas
tutupan di Lombok sebesar 12.851,75 hektar dan di Spermonde sebesar 1.178,25
hektar. Penurunan tutupan karang terbesar di Lombok terjadi pada tahun 1999, dari
36.550,71 hektar pada tahun 1998 menjadi 6.724,98 hektar. Di Spermonde,
penurunan terbesar terjadi pada tahun 2021, dari 2.119,41 hektar pada tahun 2020
menjadi hanya 218,25 hektar.
Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi antara kejadian MHWs dan penurunan
luas tutupan terumbu karang. Tahun-tahun dengan frekuensi, intensitas, dan durasi
MHWs yang tinggi bertepatan dengan penurunan signifikan luasan terumbu karang.
Selain itu, fenomena iklim seperti ENSO dan IOD turut berkontribusi terhadap
variabilitas MHWs dan kondisi terumbu karang. Tahun-tahun peluruhan El Niño,
seperti 1998 dan 2016, menunjukkan peningkatan intensitas dan durasi MHWs
yang signifikan, yang pada gilirannya memperburuk kondisi terumbu karang.
Variabilitas iklim ini menambah tekanan termal pada ekosistem terumbu karang,
yang sudah rentan akibat perubahan suhu yang ekstrem dan berkepanjangan.