Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi menyampaikan dalam bahwa pada 2016 harga minyak mencapai US$ 26,63 per barel. Penurunan ini menyebabkan kegiatan di industri minyak mengalami kelesuan. Namun, pada tahun 2017 harga minyak dunia naik mencapai US$ 52,47 per barel. Kenaikan tersebut mendorong Pertamina (Persero) menargetkan produksi 1,9 juta BOEPD di 2025.
Berdasarkan SWOT Analisis, keunggulan Jatibarang Field adalah memiliki cadangan minyak besar pada Lapangan Pengembangan Akasia Bagus dengan pemboran sumur ABG-08 yang memproduksikan 2600 BOPD. Penulis mengidentifikasi major concern dan akar permasalahan yang dihadapi menggunakan Metode Kepner Tregoe. Pengembangan Sumur Baru dengan pemboran menjadi major concern dari bisnis proses yang direncanakan dan tingginya biaya Rig pada tahap Completion Job menjadi masalah yang dihadapi. Pada 2021, PT Pertamina Hulu Rokan (Ex. CHEVRON), dan PT Pertamina EP menjadi satu dibawah Subholding Hulu PT Pertamina Hulu Energi karena Transformasi Organisasi. Pada PT PHR (Ex. CHEVRON), Proses pemboran dengan Rig Bor dilakukan sampai tahap instalasi casing produksi. Kemudian pada tahap pekerjaan Completion dilanjutkan oleh Rig Workover Kontrak. Strategi tersebut terbukti berhasil dilakukan di Lapangan PT PHR (Ex. CHEVRON). Hal ini menyulut semangat manajemen PT Pertamina EP untuk melakukan hal yang sama.
Selanjutnya penulis menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk memilih Rig mana yang sesuai untuk mengatasi problem tersebut berdasarkan kriteria biaya, waktu, ketersediaan Rig, kesiapan lokasi sumur dan kapasitas Rig. Hasil AHP diperoleh bahwa penggunaan Drilling Rig masih menjadi alternative solusi terbaik dengan nilai 59 % dibanding Rig Workover Kontrak, dan Rig Workover Milik Sendiri. Sedangkan Rig Capacity menjadi kriteria terpenting dengan nilai 52 %. Sehingga pekerjaan Completion Job akan tetap dikerjakan menggunakan Drilling Rig.