digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pengembangan kawasan TOD merupakan salah satu strategi tata kelola perkotaan dalam rangka mengurangi eksternalitas negatif dari adanya kemacetan dan inefisiensi penggunaan lahan perkotaan. Seiring dengan upaya pengembangannya, saat ini masih banyak masyarakat melakukan perjalanan komuting yang melelahkan, dan juga banyak ditemui guna lahan perumahan yang belum digunakan secara optimal, seperti yang ditemui di Kawasan TOD Fatmawati, dimana sebanyak 36% hunian masih berintensitas rendah atau 1 lantai. Pengelola kawasan perlu berupaya sesuai amanat untuk meningkatkan kepadatan populasi dan penyediaan hunian terjangkau, serta tugas untuk berkolaborasi dengan stakeholder paling sedikit 50% dari cakupan luas kawasan. Sambut menyambut, Pemprov Jakarta sudah mengizinkan pembangunan hunian 4 lantai pada subzona R-1, sehingga menjadi peluang untuk mengoptimalkan guna lahan perumahan, dan perlu dilakukan dengan menghargai hak milik properti dan keputusan individu. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model tata kelola pengembangan hunian terjangkau di Kawasan TOD Fatmawati berdasarkan tingkat penerimaan pemilik hunian eksisting (responden) dan perspektif aktor pembangunan pengembang kawasan TOD. Metode penelitian diawali dengan kajian literatur untuk menyusun model awal sebagai dasar mengukur tingkat penerimaan responden dan identifikasi perspektif aktor pembangunan. Berdasarkan hasil literatur dan observasi di lapangan, pengembangan hunian terjangkau di kawasan TOD dapat diwujudkan dengan kombinasi model Community Land Trust (CLT) dan Co-housing yang menargetkan masyarakat kelas menengah. Berdasarkan hasil analisis tingkat penerimaan, responden menunjukan ketidaksukaan terhadap kombinasi model tersebut dengan nilai sebesar 32,61%-34,78%, namun responden menunjukan tingkat penerimaan yang lebih positif pada penggunaan model co-housing tanpa model CLT. Berdasarkan analisis perspektif aktor pembangunan, pengelola kawasan melalui PT. Integrasi Transit Jakarta (ITJ) dapat berperan sebagai aktor sentral dengan fungsi pengakuisisi dan pengelola lahan, serta fungsi inkubator co-housing. Berdasarkan kedua analisis tersebut, model akhir disusun dengan memaksimalkan penerapan model co-housing dengan skema ‘collective self-build housing’ dan mendorong kerja sama antara PT.ITJ dengan koperasi co-housing dengan dukungan dari pemerintah provinsi, khususnya melalui kebijakan holistik terkait multi-family housing. Model ini menekankan pada ‘membangun secara bersama’ melalui wadah koperasi perumahan, dan pentingnya keterlibatan pengelola kawasan agar bisa menginternalisasi aspirasi dan memastikan bahwa pengembangan sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kepadatan penduduk, pendapatan non-farebox, dan potensi jumlah penumpang MRT. Simulasi perhitungan juga menunjukan bahwa model ini dapat digunakan untuk menyediakan hunian terjangkau bagi kelas menengah dengan rentang harga 11-17,9 juta/m2, dimana sesuai dengan aspirasi pengelola kawasan.