Pengembangan kawasan TOD merupakan salah satu strategi tata kelola perkotaan dalam
rangka mengurangi eksternalitas negatif dari adanya kemacetan dan inefisiensi penggunaan
lahan perkotaan. Seiring dengan upaya pengembangannya, saat ini masih banyak
masyarakat melakukan perjalanan komuting yang melelahkan, dan juga banyak ditemui
guna lahan perumahan yang belum digunakan secara optimal, seperti yang ditemui di
Kawasan TOD Fatmawati, dimana sebanyak 36% hunian masih berintensitas rendah atau
1 lantai. Pengelola kawasan perlu berupaya sesuai amanat untuk meningkatkan kepadatan
populasi dan penyediaan hunian terjangkau, serta tugas untuk berkolaborasi dengan
stakeholder paling sedikit 50% dari cakupan luas kawasan. Sambut menyambut, Pemprov
Jakarta sudah mengizinkan pembangunan hunian 4 lantai pada subzona R-1, sehingga
menjadi peluang untuk mengoptimalkan guna lahan perumahan, dan perlu dilakukan
dengan menghargai hak milik properti dan keputusan individu. Penelitian ini bertujuan
untuk merumuskan model tata kelola pengembangan hunian terjangkau di Kawasan TOD
Fatmawati berdasarkan tingkat penerimaan pemilik hunian eksisting (responden) dan
perspektif aktor pembangunan pengembang kawasan TOD. Metode penelitian diawali
dengan kajian literatur untuk menyusun model awal sebagai dasar mengukur tingkat
penerimaan responden dan identifikasi perspektif aktor pembangunan. Berdasarkan hasil
literatur dan observasi di lapangan, pengembangan hunian terjangkau di kawasan TOD
dapat diwujudkan dengan kombinasi model Community Land Trust (CLT) dan Co-housing
yang menargetkan masyarakat kelas menengah. Berdasarkan hasil analisis tingkat
penerimaan, responden menunjukan ketidaksukaan terhadap kombinasi model tersebut
dengan nilai sebesar 32,61%-34,78%, namun responden menunjukan tingkat penerimaan
yang lebih positif pada penggunaan model co-housing tanpa model CLT. Berdasarkan
analisis perspektif aktor pembangunan, pengelola kawasan melalui PT. Integrasi Transit
Jakarta (ITJ) dapat berperan sebagai aktor sentral dengan fungsi pengakuisisi dan pengelola
lahan, serta fungsi inkubator co-housing. Berdasarkan kedua analisis tersebut, model akhir
disusun dengan memaksimalkan penerapan model co-housing dengan skema ‘collective
self-build housing’ dan mendorong kerja sama antara PT.ITJ dengan koperasi co-housing
dengan dukungan dari pemerintah provinsi, khususnya melalui kebijakan holistik terkait
multi-family housing. Model ini menekankan pada ‘membangun secara bersama’ melalui
wadah koperasi perumahan, dan pentingnya keterlibatan pengelola kawasan agar bisa
menginternalisasi aspirasi dan memastikan bahwa pengembangan sejalan dengan upaya
untuk meningkatkan kepadatan penduduk, pendapatan non-farebox, dan potensi jumlah
penumpang MRT. Simulasi perhitungan juga menunjukan bahwa model ini dapat
digunakan untuk menyediakan hunian terjangkau bagi kelas menengah dengan rentang
harga 11-17,9 juta/m2, dimana sesuai dengan aspirasi pengelola kawasan.