ABSTRAK_Aditiya Rifani
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan
Domestic violence dan sexual abuse merupakan bentuk tindak kekerasan yang biasanya memiliki korban perempuan dan anak-anak. Meskipun terdapat juga kasus dimana laki-laki menjadi korban, namun jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan dengan kasus dimana perempuan menjadi korban. Arsitektur sendiri memiliki hubungan dengan fenomena ini sebagai ruang tempat terjadinya tindakan kekerasan. Namun, sebenarnya keterlibatan arsitektur dalam fenomena ini jauh lebih besar. Elemen arsitektur sering kali dijadikan media pelaku untuk melakukan tindak kekerasan. Hal ini berakibat pada munculnya trauma pada korban saat memasuki ruangan dengan elemen arsitektur tertentu. Selain itu, arsitektur juga berperan dalam penanganan kasus domestic violence dan sexual abuse. Arsitek dapat berperan dalam perancangan infrastruktur sebagai sarana pemulihan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Berdasarkan data jumlah kasus kekerasan di Indonesia, jumlah kasus kekerasan terus menunjukkan peningkatan tiap tahunnya, fenomena ini juga terjadi di Aceh. Data ini belum menimbang kemungkinan adanya kasus yang belum terdata. Dari kasus yang sudah didata dan ditangani sekalipun, banyak dari kasus tersebut yang tidak terselesaikan dengan baik. Hal ini merupakan kondisi yang sangat ironis karena yang akan dirugikan pada kondisi ini tentu saja adalah para korban. Isu-isu inilah yang mendorong gagasan diperlukannya pendekatan baru dalam penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Arsitektur yang memiliki hubungan erat dengan fenomena ini diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Salah satu alasan mengapa masih banyak kasus kekerasan tidak terdata dan tidak tertangani dengan baik adalah karena kondisi para korban yang masih bergantung kepada pelaku secara emosional dan finansial. Hal ini membuat korban takut untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, pada beberapa kasus banyak juga korban yang memutuskan untuk mencabut laporannya. Para korban dapat kehilangan tempat tinggal dan pemasukan, dan akan sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, apalagi korban yang sudah memiliki anak. Mereka merasa lebih takut akan mengakibatkan dampak yang lebih buruk pada kehidupan anaknya. Hal inilah yang membuat para korban akhirnya memutuskan untuk menahan penderitaan yang mereka alami. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan yang paling diperlukan oleh korban dalam proses penanganan kasus kekerasan adalah akomodasi tempat tinggal dan pembinaan untuk menjadi mandiri secara finansial dan emosional tanpa bantuan pelaku. Hal ini lah yang melatarbelakangi gagasan proyek ‘Safe House and Opportunity Center for Women and Children Survivors of Domestic Violence and Sexual Abuse in Aceh’. Proyek ini bertujuan untuk memberikan fasilitas akomodasi sementara serta fasilitas pemberdayaan dan pembinaan para korban. Diharapkan, dengan keberadaan infrastruktur ini, kasus kekerasan pada perempuan dan anak dapat ditangani dengan baik sehingga dapat membantu para korban untuk pulih dan kembali ke masyarakat dengan kualitas kehidupan lebih baik. Selain harus dibuat dengan baik secara fungsional, rancangan juga harus memperhatikan kualitas ruang dan elemen arsitektural lainnya. Korban kekerasan memiliki trauma yang besar, sehingga akan sangat mudah untuk muncul trigger baru yang bisa menimbulkan stres dan menghambat proses penyembuhan korban. Oleh karena itu, harus digunakan pendekatan desain yang baik dan dapat membantu proses terapi korban. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat rancangan dengan konsep therapeutic serta memperhatikan secara detail elemen dan rancangan arsitektur seperti apa yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada perempuan dan anak korban kekerasan.