ABSTRAK_Amalia Rahmanda
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan
Industri pakaian di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade terakhir. Perkembangan ini memberikan dampak positif terhadap ekonomi yang dibuktikan dengan peningkatan kontribusi industri fesyen terhadap PDB sebesar 13,74% di akhir tahun 2022. Namun, seiring dengan bertumbuhnya industri pakaian di Indonesia, kuantitas limbah yang dihasilkan, baik dari kegiatan produksi maupun konsumsi, juga kian mengalami peningkatan. Di tahun 2023, limbah kain berkontribusi sebesar 2,5% terhadap total sampah nasional yang setara dengan sekitar 2,3 juta ton sampah. Dari angka tersebut, hanya 0,3 juta ton yang didaur ulang dan sisanya berakhir menjadi timbunan sampah di TPA. Kuantitas limbah kain di lingkungan semakin diperparah dengan adanya tren fast fashion dalam industri. Fast fashion membuat siklus produksi dan konsumsi di masyarakat berlangsung cepat yang diiringi dengan peningkatan kuantitas limbah kain yang dihasilkan, terutama dari pakaian bekas. Dalam merespons isu ini, kegiatan thrifting digaungkan sebagai solusi untuk mengurangi limbah kain di lingkungan, termasuk di Kota Bandung. Namun, kegiatan thrifting kini telah beralih fokus pada penjualan pakaian bekas impor. Hal tersebut menyebabkan tren thrifting yang kini tengah ramai tidak lagi dianggap solutif. Bahkan, thrifting dianggap sebagai sumber permasalahan baru karena banyaknya pakaian bekas impor tersebut yang tidak layak pakai dan berujung menjadi limbah. Masalah yang terus beruntun dari industri pakaian membuat penggiat busana di Bandung mulai melakukan inovasi dalam produksi yang kemudian melahirkan tren upcycling. Upcycling dianggap efektif menangani isu limbah karena kegiatan pengolahan ini tidak melalui proses peleburan atau penghancuran bahan baku, tetapi lebih mengandalkan kreativitas. Hal ini membuat produk yang dihasilkan juga memiliki nilai ekonomi untuk dijual kembali. Siklus kegiatan produksi-konsumsi yang tertutup ini merupakan bentuk dari circular fashion system, yakni sistem industri fesyen yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan. Sayangnya, kegiatan upcycling baru sedikit dilakukan. Pengumpulan sampah untuk diolah juga masih dilakukan secara individu oleh para pelaku usaha melalui sosial media. Hal tersebut seringkali menjadi hambatan karena belum adanya tempat pengepulan khusus limbah kain di Bandung. Dengan potensi yang dimiliki sebagai kota fesyen, Bandung masih belum memiliki sistem pengolahan limbah kain yang strategis. Arsitektur dalam hal ini dapat berperan untuk mewadahi kegiatan pengolahan limbah kain, mulai dari proses pengepulan, pengolahan, hingga penjualan kembali produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, proyek ini bertujuan untuk menyediakan pusat pengolahan limbah kain yang integratif dan partisipatif sebagai upaya perwujudan circular fashion system. Proyek ini menjadi media untuk mengangkat kegiatan upcycling di masyarakat. Program ruang utama yang diwadahi pada proyek ini adalah bank limbah dan material, ruang pengolahan/upcycling, ruang workshop, ruang eksibisi, dan ruang komersial. Dalam mewujudkan visi dan misi, proyek ini mengangkat empat persoalan utama perancangan, yakni ruang kreatif dan wadah kolaborasi, arsitektur sebagai behavioural nudge, kenyamanan pengguna, dan desain bangunan hijau. Keempat isu perancangan tersebut dijawab dengan konsep perancangan yang didasari pada teori-teori yang relevan.