digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Raissa Anindya Putri
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan

Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam, budaya, dan seni yang melimpah, mencerminkan heterogenitas masyarakatnya. Kota Bandung, salah satu kota di Indonesia, kaya akan sejarah, kebudayaan, dan musik. Diakui sebagai Kota Kreatif oleh UNESCO pada tahun 2015, Bandung membanggakan diri atas berbagai julukan, mencakup Paris van Java, Kota Kembang, dan sekarang Kota Kreatif. Namun, di tengah kekayaannya, Kota Bandung menghadapi tantangan dalam menyediakan fasilitas yang memadai bagi musisi, terutama musisi jalanan, untuk mengekspresikan bakat dan kreativitas mereka. Sejarah musik di Kota Bandung dimulai pada tahun 1930-an dengan menjadi pusat musik jazz dan orkestra yang melahirkan musisi terkenal seperti Fariz RM dan Broery Pesulima. Pada tahun 1970-an, Bandung menjadi pusat perkembangan musik rock dan pop di Indonesia, dan pada tahun 2000-an, genre musik di Kota Bandung semakin berkembang dengan pertunjukan musik yang sering diadakan, seperti We The Fest dan Java Jazz Festival. Namun di tengah perkembangan musik yang pesat, musisi di Kota Bandung, terutama para musisi jalanan, menghadapi keterbatasan fasilitas dan dukungan dari pemerintah. Kang Priston, salah satu pihak penanggung jawab KPJ, menyatakan bahwa hingga saat ini masih banyak para musisi jalanan yang belum terfasilitasi secara kemampuan padahal mereka memiliki potensi dan beberapa telah memiliki karya di bidang tersebut. Meskipun Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) telah memberikan wadah untuk musisi jalanan, masih ada kebutuhan akan fasilitas tambahan. Beberapa kelompok musisi jalanan, seperti Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ) dan kelompok musisi jalanan Plago, menyuarakan keinginan mereka akan lebih banyak wadah dan dukungan dari pihak berwenang. Sebagai tanggapan terhadap tantangan ini, diusulkan pembangunan gedung pertunjukan dengan sebuah auditorium konser yang tidak hanya menyediakan ruang untuk komunitas musik klasik dan orkestra, tetapi juga memberikan tempat bagi musisi jalanan untuk mengekspresikan kreativitas mereka. Gedung ini juga diharapkan dapat menjadi pusat edukatif dan kolaboratif untuk mengembangkan bakat musisi jalanan. Kualitas akustik menjadi fokus utama dalam desain gedung, sementara ruang kreatif harus dirancang sebagai lingkungan inklusif dan fleksibel untuk merangsang kreativitas dan produktivitas para musisi. Dengan demikian, upaya ini bertujuan untuk memberikan solusi yang merespons serta sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi musisi di Kota Bandung untuk menjaga keberlanjutan perkembangan musik yang kaya dan beragam di kota tersebut.