digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Lembang telah berkembang menjadi wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tiap tahunnya yang menyebabkan pembangunan fisik terus terjadi. Perpaduan antara kepadatan penduduk, pembangunan fisik, serta ancaman-ancaman bahaya yang berpotensi terjadi di wilayah Lembang seperti Sesar Lembang, aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Perahu, dan longsor, menjadikan Lembang sebagai wilayah yang rentan terhadap multi bencana. Secara teori, kerentanan sendiri terbentuk dari suatu proses yang panjang dan dipengaruhi erat oleh persepsi risiko seseorang yang kemudian juga mempengaruhi tindakan kesiapsiagaan terhadap risiko bencana. Karena itu, studi teknis kebencanaan tidak dapat dilepaskan dari aspek sosial ekonomi yang menjadi latar belakang proses pembentukan kerentanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi proses pembentukan kerentanan dan risiko pada masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah di Lembang sebagai aktor-aktor yang mempunyai peran penting dalam upaya pengurangan risiko bencana. Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa persepsi risiko bencana dan tindakan kesiapsiagaan di Lembang masih rendah. Hal ini dibuktikan diantaranya dengan konstruksi bangunan yang tidak baik dan tidak mempertimbangkan bencana, pemilihan lokasi rumah tinggal dan tempat usaha yang tidak baik, alih fungsi lahan karena tidak adanya aturan zonasi, dan tidak adanya program pengurangan risiko bencana yang terencana dengan baik di tingkat daerah. Beberapa akar permasalahan yang teridentifikasi mempengaruhi rendahnya persepsi dan tindakan kesiapsiagaan adalah tingkat pendidikan dan perekonomian yang rendah, keterbatasan informasi kebencanaan, political will terhadap upaya pengurangan risiko bencana yang rendah dari pemerintah, dan faktor budaya, historis, dan kepercayaan dari masyarakat, pengusaha maupun pemerintah daerah. Untuk mengurangi risiko bencana yang berangkat dari pemahaman mengenai proses pembentukan risiko yang didapat dari penelitian ini, diperlukan adanya peningkatan kapasitas masyarakat, pengusaha maupun pemerintah, perencanaan program pengurangan risiko bencana yang baik di tingkat pemerintah daerah dan mengubah paradigma reaktif menjadi peventif dan antisipatif terhadap bencana yang melibatkan seluruh stakeholders, serta peraturan zonasi dan aturan bangunan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang di wilayah Lembang.