digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Dicky Arisikam
PUBLIC Alice Diniarti

Mayoritas Kecelakaan Kereta Api (KKA) yang terjadi di Indonesia selama periode 2015–2020 disebabkan oleh faktor prasarana, seperti kondisi jalan rel, keberadaan jembatan, dan kualitas sintelis. Untuk mengurangi KKA tersebut, maka diperlukan upaya perawatan atau perbaikan prasarana dengan prioritas penanganan pada lokasi-lokasi yang memiliki risiko tinggi terhadap KKA. Secara konvensional, prioritas penanganan ditentukan berdasarkan banyaknya KKA yang pernah terjadi pada lokasi tersebut dalam periode waktu tertentu. Namun mengingat sifat keacakan dari data kecelakaan dan adanya fenomena Regression to The Mean (RTM), maka prioritas penanganan lokasi berdasarkan data jumlah kejadian KKA dapat mengandung bias, yang mengakibatkan lokasi-lokasi yang dipilih untuk mendapatkan prioritas penanganan, ternyata bukan lokasi yang memiliki risiko tinggi terhadap KKA. Dengan demikian, diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif untuk menilai kinerja keselamatan jalur KA yang dapat membantu operator prasarana KA dalam memilih lokasi-lokasi yang perlu mendapatkan prioritas penanganan, sehingga perawatan atau perbaikan prasarana dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kinerja keselamatan jalur KA yang dapat digunakan untuk menilai kinerja keselamatan jalur KA dan memilih lokasi-lokasi yang perlu mendapatkan prioritas perawatan atau perbaikan. Model ini menggambarkan hubungan asosiasi antara kejadian KKA sebagai variabel terikat dengan eksposur (frekuensi perjalanan KA dan panjang jalur KA) dan sejumlah faktor prasarana (jalan rel, jembatan, dan sintelis) sebagai variabel bebas. Dalam hal ini, faktor prasarana berperan sebagai faktor risiko yang mempengaruhi kejadian KKA. Model dibangun menggunakan Generalized Linear Model (GLM) dengan spesifikasi model regresi Poisson (RP), Negative Binomial (NB), Zero Inflated Poisson (ZIP), dan Zero Inflated Negative Binomial (ZINB). Data kejadian KKA yang terjadi pada segmen atau jalur KA diantara dua stasiun yang bersebelahan di Daerah Operasional (Daop) 1 Jakarta, Daop 2 Bandung, dan Daop 3 Cirebon selama tahun 2015–2020 digunakan sebagai dasar pemodelan. Total terdapat 379 jalur KA dari ketiga Daop tersebut. Pemilihan model didasarkan pada uji nilai dispersi, uji kecocokan, dan uji vuong. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa model regresi NB merupakan model terbaik untuk menggambarkan hubungan asosiasi antara kejadian KKA dengan faktor prasarana. Variabel yang berasosiasi terhadap kejadian KKA di Indonesia (sesuai lokasi studi) yaitu frekuensi KA (KA/hari), panjang jalur KA (Km), kecepatan KA (Km/jam), panjang lengkung jalur KA dengan radius 500 m s.d ? 1000 m (Km), jumlah daerah rawan (Titik), panjang jaringan Listrik Aliran Atas (Km), dan tipe jalur tunggal atau ganda. Model tersebut menghasilkan angka perkiraan KKA untuk setiap entitas, yang selanjutnya digunakan untuk penilaian kinerja keselamatan jalur KA. Selanjutnya, hasil penilaian kinerja keselamatan jalur KA berdasarkan Indikator Kinerja Safety Performance Function (SPF) dan Empirical Bayes (EB) terdapat 47 dan 102 segmen berbahaya. Kemudian berdasarkan metode Data Envelopment Analysis (DEA) (DEA-KKA dan DEA-SPF) menunjukkan peringkat keselamatan dari 379 jalur KA yang ditinjau, tidak menyebutkan lokasi berbahaya atau tidak. Jalur KA pada peringkat teratas baik dengan Indikator Kinerja maupuan metode DEA, merupakan jalur KA yang paling berbahaya dan perlu mendapatkan prioritas perawatan. Berdasarkan hasil penilaian dengan Indikator Kinerja SPF dan EB serta Metode DEA-SPF menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, hal ini karena variabel yang digunakan pada analisis adalah sama yaitu angka perkiraan KKA dan variabel prasarana yang didapat dari SPF, sedangkan metode DEA-KKA menunjukkan hasil yang berbeda karena tidak menggunakan parameter dari SPF. Berdasarkan keunggulan dan keterbatasan dari keempat penilaian tersebut, Indikator Kinerja EB menjadi penilaian kinerja keselamatan jalur KA yang paling sesuai untuk kasus KKA tersebut karena menggunakan angka kejadian KKA, angka ekpektasi KKA dari SPF sebagai parameter analisis dan ambang batas, serta memperhitungkan efek dari bias pada RTM.