digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Rencana BRT Trans Metro Pasundan yang akan beroperasi secara bertahap di Kota Bandung hingga tahun 2023, perlu dikaji integrasi jaringannya terhadap moda eksisting, yaitu angkot, Bus Damri, TMB, dan KRD. Dari regulasi, pedoman, dan penelitian internasional dan lokal sebelumnya, diidentifikasi indikator yang perlu dipenuhi dalam integrasi jaringan, yaitu tingkat overlap dan cakupan wilayah berdasarkan daerah layanan, serta jumlah transfer antar koridor dan ketersediaan trayek dalam pergerakan dalam kota. Digunakan software ArcGIS untuk memetakan catchment area dan menganalisis indikator pergerakan dalam kota dengan Network Analyst untuk mengeluarkan quickest route. Proyeksi data MAT yang tersedia untuk tahun 2031 digunakan untuk analisis pergerakan dan besaran bangkitan dan tarikan di 30 kecamatan di Kota Bandung. Dengan analisis spasial (daerah layanan) dan analisis pergerakan MAT untuk mengkaji integrasi jaringan, ditemukan bahwa hierarki antarmoda yang kurang jelas menyebabkan tingginya tingkat overlap dan rendahnya cakupan wilayah; serta rendahnya konektivitas antarmoda menyebabkan tingginya transfer antarmoda dan mengakibatkan rendahnya permintaan dengan transit, di mana isu-isu tersebut tidak memenuhi konsep pemerataan yang ditetapkan dalam regulasi. Tingkat overlap BRT terhadap angkot mencapai >60%, dan bahkan mencapai >90% terhadap Bus Damri. Dibandingkan dengan overlap moda eksisting vs angkot, BRT mendominasi di tingkat overlap >40%. Karena overlap tersebut, BRT tidak menambah cakupan di beberapa wilayah, seperti 4 kecamatan di bagian timur Kota Bandung, dengan rasio catchment area hanya 13% - 27%. Dari quickest route antar kecamatan, terdapat 26 dari 900 pergerakan yang memerlukan pergantian koridor lebih dari 2 kali, batas yang ditetapkan dalam PM No. 10 Tahun 2012. Pergerakan tersebut mendominasi tujuan Cibeunying Kaler, yang memiliki permintaan transit yang rendah. Indikator ketersediaan trayek terpenuhi melalui kuantifikasi dengan jarak berjalan kaki untuk mencapai perhentian dalam berganti koridor, yaitu di bawah batas 500 m dalam SK Ditjenhubdat No. 687 Tahun 2002.