Rencana BRT Trans Metro Pasundan yang akan beroperasi secara bertahap di Kota
Bandung hingga tahun 2023, perlu dikaji integrasi jaringannya terhadap moda
eksisting, yaitu angkot, Bus Damri, TMB, dan KRD. Dari regulasi, pedoman, dan
penelitian internasional dan lokal sebelumnya, diidentifikasi indikator yang perlu
dipenuhi dalam integrasi jaringan, yaitu tingkat overlap dan cakupan wilayah
berdasarkan daerah layanan, serta jumlah transfer antar koridor dan ketersediaan
trayek dalam pergerakan dalam kota. Digunakan software ArcGIS untuk
memetakan catchment area dan menganalisis indikator pergerakan dalam kota
dengan Network Analyst untuk mengeluarkan quickest route. Proyeksi data MAT
yang tersedia untuk tahun 2031 digunakan untuk analisis pergerakan dan besaran
bangkitan dan tarikan di 30 kecamatan di Kota Bandung.
Dengan analisis spasial (daerah layanan) dan analisis pergerakan MAT untuk
mengkaji integrasi jaringan, ditemukan bahwa hierarki antarmoda yang kurang
jelas menyebabkan tingginya tingkat overlap dan rendahnya cakupan wilayah; serta
rendahnya konektivitas antarmoda menyebabkan tingginya transfer antarmoda dan
mengakibatkan rendahnya permintaan dengan transit, di mana isu-isu tersebut tidak
memenuhi konsep pemerataan yang ditetapkan dalam regulasi.
Tingkat overlap BRT terhadap angkot mencapai >60%, dan bahkan mencapai
>90% terhadap Bus Damri. Dibandingkan dengan overlap moda eksisting vs
angkot, BRT mendominasi di tingkat overlap >40%. Karena overlap tersebut, BRT
tidak menambah cakupan di beberapa wilayah, seperti 4 kecamatan di bagian timur
Kota Bandung, dengan rasio catchment area hanya 13% - 27%. Dari quickest route
antar kecamatan, terdapat 26 dari 900 pergerakan yang memerlukan pergantian
koridor lebih dari 2 kali, batas yang ditetapkan dalam PM No. 10 Tahun 2012.
Pergerakan tersebut mendominasi tujuan Cibeunying Kaler, yang memiliki
permintaan transit yang rendah. Indikator ketersediaan trayek terpenuhi melalui
kuantifikasi dengan jarak berjalan kaki untuk mencapai perhentian dalam berganti
koridor, yaitu di bawah batas 500 m dalam SK Ditjenhubdat No. 687 Tahun 2002.