digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Jaringan distribusi produk hasil pertanian dan produk sarana produksi pertanian (saprotan) di perdesaan rawan praktek monopolistik yang dilakukan spekulan. Kondisi ini menyebabkan pendapatan yang diraih petani menjadi rendah, sementara biaya pembelian produk saprotan sangat tinggi. Pemerintah telah melakukan perbaikan tata niaga dan rantai pasok produk pertanian melalui penyediaan fasilitas Sub Terminal Agribisnis, namun ternyata belum berhasil membuat harga jual produk hasil pertanian stabil, tidak menjamin ketersediaan produk dan perbaikan tingkat pendapatan petani. Kondisi ini memerlukan perbaikan sistem pendistribusian dan pemasaran produk hasil pertanian serta sistem pendistribusian dan penyediaan produk saprotan di perdesaan secara simultan, mengingat bahwa produk hasil pertanian dan produk saprotan dapat saling berpengaruh dalam aktivitas pertanian. Permasalahan di atas diselesaikan dengan pendekatan logistik perdesaan. SLP adalah sistem yang menghubungkan beberapa entitas logistik untuk menyalurkan produk hasil pertanian dari wilayah perdesaan menuju ke konsumen di perkotaan (forward flow) dan produk saprotan yang dibutuhkan petani (backward flow). Sistem ini bertujuan meningkatkan ketersediaan produk, menekan ongkos dan meningkatkan pendapatan bagi setiap entitas yang terlibat dalam penyaluran produk dari dan menuju perdesaan. Jadi, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah “Model SLP seperti apa yang dapat memperbaiki sistem penyediaan dan penyaluran produk saprotan sampai pada pendistribusian dan pemasaran produk hasil pertanian yang dapat meningkatkan keuntungan operasional SLP dan jaminan ketersediaan produk di tingkat konsumen?”. Penelitian ini mengembangkan model SLP yang mempertimbangkan aliran produk dua arah, Pengembangan Model SLP dilakukan dalam 3 (tiga) tahap yaitu: 1) perancangan Model SLP Konseptual, 2) pemilihan jaringan bisnis logistik terbaik dan 3) pengembangan Model SLP Operasional. Pada tahap awal, pengembangan Model SLP Konseptual mengacu pada 4 (empat) aspek kerangka kerja pengembangan rantai pasok, yaitu (1) struktur jaringan; (2) manajemen; (3) proses bisnis; (4) sumber daya bisnis. Aspek struktural jaringan menjelaskan tahapan pengembangan 5 (lima) bentuk jaringan bisnis logistik dan 3 (tiga) alternatif jaringan pengiriman logistik. Aspek manajemen membahas perancangan bentuk organisasi, penjelasan kelembagaan dan penyusunan fungsi- fungsi manajemen dalam bisnis SLP. Aspek proses bisnis SLP menjelaskan penyusunan aktivitas bisnis, strategi bisnis dan ukuran kinerja SLP. Aspek sumber daya bisnis membahas pemanfaatan sumber daya material, manusia dan teknologi informasi berplatform e-Commerce untuk pencapaian tujuan SLP. Pada tahap kedua, dilakukan pemilihan trade logistics network dalam SLP yang terbaik. Kuesioner disusun berdasarkan 3 (tiga) dimensi yang mempengaruhi kinerja SLP, yaitu dimensi implementasi, manfaat dan ongkos. Ketiga dimensi tersebut kemudian dikembangkan menjadi 17 kriteria. Responden penelitian sebanyak 67 orang yang terdiri dari 38,81% petani, 31,4 % perantara (intermedieries) dan 29,85% pihak pengambil kebijakan (regulator). Selanjutnya data diolah dengan menggunakan IBM SPSS Statistics 21 dan hasilnya menunjukkan seluruh responden memilih bentuk jaringan bisnis logistik perdesaan Tipe-3 sebagai bentuk trade logistics network yang memberi pengaruh kuat terhadap kinerja SLP. Entitas yang terlibat dalam pendistribusian pada Tipe-3 ini adalah Distributor, Eksportir, Kios Tani, Petani, dan Industri dengan menggunakan rural e-commerce sebagai pusat data transaksi. Bentuk freight logistics network yang sesuai untuk trade logistics network aTipe-3 adalah jaringan Alternatif-3. Selanjutnya, dilakukan pengembangan Model SLP Operasional dalam bentuk persamaan matematis. Ukuran performansi Model SLP Operasional adalah maksimasi keuntungan. Terdapat 1 (satu) fungsi tujuan dengan 45 fungsi pembatas. Keuntungan dihitung dari selisih total atas penjualan tahunan produk hasil pertanian dalam SLP dengan penjumlahan total ongkos penjualan dan pendistribusian produk hasil pertanian dan total ongkos penyediaan produk saprotan. Selain mempertimbangkan biaya persediaan dan biaya transportasi, Model SLP Operasional juga mempertimbangkan fluktuasi harga jual, frekuensi panen dan waktu siklus tunggal. Variabel keputusan dalam Model SLP Operasional diantaranya adalah harga jual produk hasil pertanian, frekuensi pemesanan, ukuran pemesanan, titik pemesanan kembali dan keputusan pembukaan Kios Tani untuk melayani pendistribusian produk hasil pertanian dan produk saprotan. Untuk melihat kemampuan Model SLP Operasional dalam mencari solusi, pengujian dilakukan pada jaringan logistik pedesaan yang terdiri dari 7 Distributor dan 4 Eksportir yang masing-masing melayani sepuluh Konsumen dalam dan luar negeri, 5 Kios Tani, 5 Petani, dan 2 Industri pemasok produk saprotan. Produk pertanian yang disalurkan melalui SLP adalah jagung, kacang tanah, dan kedelai, sedangkan produk saprotan yang disalurkan adalah benih dan pupuk. Pencarian solusi Model SLP Operasional dilakukan dengan menggunakan metode optimasi dan metode heuristik. Hasil pengujian Model SLP Operasional menggunakan metode optimasi memberikan keuntungan sebesar Rp4.383.330.000,00 dengan waktu proses pencarian solusi sekitar 52 menit, sedangkan pengujian menggunakan metode heuristik memberikan keuntungan sebesar Rp4.578.500.820,00 dengan akumulasi waktu pencarian solusi 20 detik. Metode heuristik menghasilkan keuntungan 4,45% lebih tinggi dibandingkan metode optimasi. Perubahan skenario biaya penyimpanan produk dan total penjualan produk mempengaruhi tingkat keuntungan yang dicapai Model SLP. Hal ini diduga terjadi karena perubahan kedua parameter tersebut dapat meningkatkan jumlah kehilangan penjualan, ukuran pesanan, titik pemesanan ulang, dan biaya transportasi produk.