Jaringan distribusi produk hasil pertanian dan produk sarana produksi pertanian
(saprotan) di perdesaan rawan praktek monopolistik yang dilakukan spekulan.
Kondisi ini menyebabkan pendapatan yang diraih petani menjadi rendah, sementara
biaya pembelian produk saprotan sangat tinggi. Pemerintah telah melakukan
perbaikan tata niaga dan rantai pasok produk pertanian melalui penyediaan fasilitas
Sub Terminal Agribisnis, namun ternyata belum berhasil membuat harga jual
produk hasil pertanian stabil, tidak menjamin ketersediaan produk dan perbaikan
tingkat pendapatan petani. Kondisi ini memerlukan perbaikan sistem
pendistribusian dan pemasaran produk hasil pertanian serta sistem pendistribusian
dan penyediaan produk saprotan di perdesaan secara simultan, mengingat bahwa
produk hasil pertanian dan produk saprotan dapat saling berpengaruh dalam
aktivitas pertanian.
Permasalahan di atas diselesaikan dengan pendekatan logistik perdesaan. SLP
adalah sistem yang menghubungkan beberapa entitas logistik untuk menyalurkan
produk hasil pertanian dari wilayah perdesaan menuju ke konsumen di perkotaan
(forward flow) dan produk saprotan yang dibutuhkan petani (backward flow).
Sistem ini bertujuan meningkatkan ketersediaan produk, menekan ongkos dan
meningkatkan pendapatan bagi setiap entitas yang terlibat dalam penyaluran produk
dari dan menuju perdesaan. Jadi, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah
“Model SLP seperti apa yang dapat memperbaiki sistem penyediaan dan
penyaluran produk saprotan sampai pada pendistribusian dan pemasaran produk
hasil pertanian yang dapat meningkatkan keuntungan operasional SLP dan jaminan
ketersediaan produk di tingkat konsumen?”. Penelitian ini mengembangkan model
SLP yang mempertimbangkan aliran produk dua arah, Pengembangan Model SLP
dilakukan dalam 3 (tiga) tahap yaitu: 1) perancangan Model SLP Konseptual, 2)
pemilihan jaringan bisnis logistik terbaik dan 3) pengembangan Model SLP
Operasional.
Pada tahap awal, pengembangan Model SLP Konseptual mengacu pada 4 (empat)
aspek kerangka kerja pengembangan rantai pasok, yaitu (1) struktur jaringan; (2)
manajemen; (3) proses bisnis; (4) sumber daya bisnis. Aspek struktural jaringan
menjelaskan tahapan pengembangan 5 (lima) bentuk jaringan bisnis logistik dan 3
(tiga) alternatif jaringan pengiriman logistik. Aspek manajemen membahas
perancangan bentuk organisasi, penjelasan kelembagaan dan penyusunan fungsi-
fungsi manajemen dalam bisnis SLP. Aspek proses bisnis SLP menjelaskan
penyusunan aktivitas bisnis, strategi bisnis dan ukuran kinerja SLP. Aspek sumber
daya bisnis membahas pemanfaatan sumber daya material, manusia dan teknologi
informasi berplatform e-Commerce untuk pencapaian tujuan SLP.
Pada tahap kedua, dilakukan pemilihan trade logistics network dalam SLP yang
terbaik. Kuesioner disusun berdasarkan 3 (tiga) dimensi yang mempengaruhi
kinerja SLP, yaitu dimensi implementasi, manfaat dan ongkos. Ketiga dimensi
tersebut kemudian dikembangkan menjadi 17 kriteria. Responden penelitian
sebanyak 67 orang yang terdiri dari 38,81% petani, 31,4 % perantara
(intermedieries) dan 29,85% pihak pengambil kebijakan (regulator). Selanjutnya
data diolah dengan menggunakan IBM SPSS Statistics 21 dan hasilnya
menunjukkan seluruh responden memilih bentuk jaringan bisnis logistik perdesaan
Tipe-3 sebagai bentuk trade logistics network yang memberi pengaruh kuat
terhadap kinerja SLP. Entitas yang terlibat dalam pendistribusian pada Tipe-3 ini
adalah Distributor, Eksportir, Kios Tani, Petani, dan Industri dengan menggunakan
rural e-commerce sebagai pusat data transaksi. Bentuk freight logistics network
yang sesuai untuk trade logistics network aTipe-3 adalah jaringan Alternatif-3.
Selanjutnya, dilakukan pengembangan Model SLP Operasional dalam bentuk
persamaan matematis. Ukuran performansi Model SLP Operasional adalah
maksimasi keuntungan. Terdapat 1 (satu) fungsi tujuan dengan 45 fungsi pembatas.
Keuntungan dihitung dari selisih total atas penjualan tahunan produk hasil pertanian
dalam SLP dengan penjumlahan total ongkos penjualan dan pendistribusian produk
hasil pertanian dan total ongkos penyediaan produk saprotan. Selain
mempertimbangkan biaya persediaan dan biaya transportasi, Model SLP
Operasional juga mempertimbangkan fluktuasi harga jual, frekuensi panen dan
waktu siklus tunggal. Variabel keputusan dalam Model SLP Operasional
diantaranya adalah harga jual produk hasil pertanian, frekuensi pemesanan, ukuran
pemesanan, titik pemesanan kembali dan keputusan pembukaan Kios Tani untuk
melayani pendistribusian produk hasil pertanian dan produk saprotan.
Untuk melihat kemampuan Model SLP Operasional dalam mencari solusi,
pengujian dilakukan pada jaringan logistik pedesaan yang terdiri dari 7 Distributor
dan 4 Eksportir yang masing-masing melayani sepuluh Konsumen dalam dan luar
negeri, 5 Kios Tani, 5 Petani, dan 2 Industri pemasok produk saprotan. Produk
pertanian yang disalurkan melalui SLP adalah jagung, kacang tanah, dan kedelai,
sedangkan produk saprotan yang disalurkan adalah benih dan pupuk. Pencarian
solusi Model SLP Operasional dilakukan dengan menggunakan metode optimasi
dan metode heuristik.
Hasil pengujian Model SLP Operasional menggunakan metode optimasi
memberikan keuntungan sebesar Rp4.383.330.000,00 dengan waktu proses
pencarian solusi sekitar 52 menit, sedangkan pengujian menggunakan metode
heuristik memberikan keuntungan sebesar Rp4.578.500.820,00 dengan akumulasi
waktu pencarian solusi 20 detik. Metode heuristik menghasilkan keuntungan 4,45%
lebih tinggi dibandingkan metode optimasi. Perubahan skenario biaya penyimpanan
produk dan total penjualan produk mempengaruhi tingkat keuntungan yang dicapai
Model SLP. Hal ini diduga terjadi karena perubahan kedua parameter tersebut dapat
meningkatkan jumlah kehilangan penjualan, ukuran pesanan, titik pemesanan ulang,
dan biaya transportasi produk.