Stasiun Manggarai mengalami renovasi infrastruktur yang telah berjalan sejak 2017 dan
direncanakan rampung pada tahun 2024-2025. Renovasi dilakukan dalam rangka
perwujudan Stasiun Manggarai menjadi pusat transportasi publik yang akanimelayani
kereta api (KA) jarak jauh, KRL commuter line, KAiBandara, LRT dan Transjakarta,
serta transportasi umum lainnya. Menuju arah tersebut, terdapat beberapa tahap switch
over yang dilakukan, seperti perubahan rute. Seiring dengan perubahan yang terjadi pada
Stasiun Manggarai, terdapat penumpang yang terdampak dalam rutinitas perjalanannya.
Berbagai keluhan pun terbit pada media populer yang menyalahkan perubahan rute
menyulitkan penumpang dan transit menyebabkan Stasiun Manggarai menjadi overload.
Beberapa sumber pun menyatakan untuk menghindari Stasiun Manggarai. Bentuk situasi
yang terjadi dapat dikategorikan sebagai disrupsi, sebagaimana perubahan rute dan
infrastuktur berdampak secara masal. Berdasarkan literatur, terdapat lima bentuk
perubahan perilaku perjalanan yang dapat terjadi pada kondisi disrupsi, yaitu tidak ada
perubahan, mengubah destinasi, mengganti moda, mengubah waktu keberangkatan dan
menghindari titik disrupsi. Maka, penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi
bagaimana perubahan rute dan infrastruktur Stasiun Manggarai mempengaruhi perilaku
perjalanan komuter. Menggunakan salah satu penumpang dengan volume komuter
tertinggi yakni komuter Bogor, multinomial logit dengan IBM SPSS Statistics 26
dilakukan. Model yang dihasilkan dibagi menjadi dua, berdasarkan variabel sebelum
perubahan dan setelah perubahan. Pada model sebelum perubahan yang dihasilkan
menunjukkan variabel yang berpengaruh adalah status penikahan, jalur tujuan
(Tangerang), waktu tunggu (0-9 menit), dan waktu tempuh dalam KRL (100-199).
Sedangkan, pada model setelah perubahan yang berpengaruh adalah domisili (Kota
Bogor), stasiun asal (Stasiun Cilebut & Stasiun Bojong Gede), waktu tempuh dalam KRL,
dan kesadaran penumpang akan perubahan perilaku penumpang lainnya.