Dalam dokumen RUPTL PT. PLN (Persero) 2015-2024 terdapat Rencana
Pemenuhan Kebutuhan Listrik Jangka Menengah (2015-2019) yang dikenal dengan
nama Proyek Pembangkit 35.000 MW. Sebagian besar jenis pembangkit dari
proyek tersebut yaitu sebanyak 19.940 MW merupakan PLTU Batubara. Dalam
pengoperasion PLTU Batubara, kontinuitas pasokan batubara menjadi faktor yang
sangat penting. Mekanisme pasokan batubara ke PLTU saat ini adalah dengan
membeli batubara yang sesuai dengan spesifikasi kualitas PLTU secara langsung
dari tambang-tambang batubara yang berada di Sumatera dan Kalimantan. Pasokan
batubara dengan mekanisme tersebut memiliki beberapa kelemahan, seperti pihak
PLTU merasa kesulitan dalam mencari batubara dengan kualitas dan kuantitas yang
sesuai spesifikasinya, serta lokasi tambang batubara pemasok yang jauh sehingga
total biaya pengadaan batubara menjadi mahal. Selain mekanisme pasokan
langsung tersebut, terdapat alternatif lain yaitu mekanisme pencampuran batubara.
Pada mekanisme pencampuran batubara, terdapat suatu atau beberapa fasilitas
pencampuran batubara yang akan melakukan pencampuran berbagai jenis kualitas
batubara dari berbagai pemasok untuk menghasilkan batubara campuran yang
sesuai dengan spesifikasi kualitas batubara PLTU. Beberapa kelebihan dari
mekanisme ini yaitu: pihak PLTU akan memperoleh batubara yang sesuai dengan
spesifikasinya baik secara kualitas maupun kuantitasnya, serta total biaya
pengadaan batubara dapat diminimumkan karena terdapat kemungkinan untuk
melakukan pencampuran batubara dari tambang-tambang batubara yang berlokasi
dekat dengan PLTU. Namun demikian, sebelum menerapkan mekanisme
pencampuran batubara ini, perlu dilakukan kajian terutama tentang dimana lokasi
fasilitas pencampuran batubara (Coal Blending Facility / CBF), bagaimana alokasi
demand tiap fasilitas dan bagaimana komposisi pasokan batubara dari tiap
pemasok.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah model matematika untuk
penentuan komposisi pasokan batubara dan lokasi CBF yang optimal, yaitu dengan
kriteria biaya pengadaan batubara minimum. Dalam penelitian ini, model yang akan
dibangun dan dikembangkan akan dibatasi untuk 8 (delapan) PLTU baru di utara
Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.815 MW, serta dibatasi untuk tambang
batubara pemasok yang berasal dari Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Konsep model lokasi kontinu (Model Weber) digunakan dalam tahap pembentukan
model. Terdapat dua model yang terbentuk yaitu Model 01 yang merupakan
optimasi linear untuk penentuan pemasok batubara dan optimasi nonlinear untuk
penentuan lokasi CBF, serta Model 02 yang merupakan optimasi nonlinear untuk
penentuan pemasok batubara sekaligus penentuan lokasi CBF. Pengolahan data
terhadap kedua model dilakukan dengan empat skenario pembagian alokasi demand
batubara PLTU pada dua lokasi CBF, yaitu CBF Sumatera dan CBF Kalimantan.
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan, dipilih Model 02 sebagai
dasar pemecahan masalah penelitian dan didapatkan hasil berupa skenario 1
merupakan skenario dengan biaya pengadaan batubara minimum senilai USD
1.902.928.872 per tahun. Pembagian alokasi demand batubara untuk skenario 1
yaitu 7 PLTU dilayani CBF Sumatera dan 1 PLTU dilayani CBF Kalimantan.
Lokasi CBF Sumatera terletak di Tarahan Coal Terminal dan lokasi CBF
Kalimantan terletak di South Pulau Laut Coal Terminal.