digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 1 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 2 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 3 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 4 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 5 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 6 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

BAB 7 Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani


PUSTAKA Hanif Ikhsan Pratama
PUBLIC Resti Andriani

Dalam dokumen RUPTL PT. PLN (Persero) 2015-2024 terdapat Rencana Pemenuhan Kebutuhan Listrik Jangka Menengah (2015-2019) yang dikenal dengan nama Proyek Pembangkit 35.000 MW. Sebagian besar jenis pembangkit dari proyek tersebut yaitu sebanyak 19.940 MW merupakan PLTU Batubara. Dalam pengoperasion PLTU Batubara, kontinuitas pasokan batubara menjadi faktor yang sangat penting. Mekanisme pasokan batubara ke PLTU saat ini adalah dengan membeli batubara yang sesuai dengan spesifikasi kualitas PLTU secara langsung dari tambang-tambang batubara yang berada di Sumatera dan Kalimantan. Pasokan batubara dengan mekanisme tersebut memiliki beberapa kelemahan, seperti pihak PLTU merasa kesulitan dalam mencari batubara dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai spesifikasinya, serta lokasi tambang batubara pemasok yang jauh sehingga total biaya pengadaan batubara menjadi mahal. Selain mekanisme pasokan langsung tersebut, terdapat alternatif lain yaitu mekanisme pencampuran batubara. Pada mekanisme pencampuran batubara, terdapat suatu atau beberapa fasilitas pencampuran batubara yang akan melakukan pencampuran berbagai jenis kualitas batubara dari berbagai pemasok untuk menghasilkan batubara campuran yang sesuai dengan spesifikasi kualitas batubara PLTU. Beberapa kelebihan dari mekanisme ini yaitu: pihak PLTU akan memperoleh batubara yang sesuai dengan spesifikasinya baik secara kualitas maupun kuantitasnya, serta total biaya pengadaan batubara dapat diminimumkan karena terdapat kemungkinan untuk melakukan pencampuran batubara dari tambang-tambang batubara yang berlokasi dekat dengan PLTU. Namun demikian, sebelum menerapkan mekanisme pencampuran batubara ini, perlu dilakukan kajian terutama tentang dimana lokasi fasilitas pencampuran batubara (Coal Blending Facility / CBF), bagaimana alokasi demand tiap fasilitas dan bagaimana komposisi pasokan batubara dari tiap pemasok. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah model matematika untuk penentuan komposisi pasokan batubara dan lokasi CBF yang optimal, yaitu dengan kriteria biaya pengadaan batubara minimum. Dalam penelitian ini, model yang akan dibangun dan dikembangkan akan dibatasi untuk 8 (delapan) PLTU baru di utara Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.815 MW, serta dibatasi untuk tambang batubara pemasok yang berasal dari Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Konsep model lokasi kontinu (Model Weber) digunakan dalam tahap pembentukan model. Terdapat dua model yang terbentuk yaitu Model 01 yang merupakan optimasi linear untuk penentuan pemasok batubara dan optimasi nonlinear untuk penentuan lokasi CBF, serta Model 02 yang merupakan optimasi nonlinear untuk penentuan pemasok batubara sekaligus penentuan lokasi CBF. Pengolahan data terhadap kedua model dilakukan dengan empat skenario pembagian alokasi demand batubara PLTU pada dua lokasi CBF, yaitu CBF Sumatera dan CBF Kalimantan. Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan, dipilih Model 02 sebagai dasar pemecahan masalah penelitian dan didapatkan hasil berupa skenario 1 merupakan skenario dengan biaya pengadaan batubara minimum senilai USD 1.902.928.872 per tahun. Pembagian alokasi demand batubara untuk skenario 1 yaitu 7 PLTU dilayani CBF Sumatera dan 1 PLTU dilayani CBF Kalimantan. Lokasi CBF Sumatera terletak di Tarahan Coal Terminal dan lokasi CBF Kalimantan terletak di South Pulau Laut Coal Terminal.