digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


BAB 1 Abraham Josua Sampetoding
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 2 Abraham Josua Sampetoding
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 3 Abraham Josua Sampetoding
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 4 Abraham Josua Sampetoding
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 5 Abraham Josua Sampetoding
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

PUSTAKA Abraham Josua Sampetoding
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan

Bendungan merupakan infrastruktur yang penting dalam pengendalian aliran air serta pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Dalam pembangunan suatu bendungan, diperlukan beberapa bangunan penunjang. Salah satunya adalah terowongan pengelak. Terowongan pengelak dibangun demi menjaga kelancaran konstruksi bendungan. Namun, pada periode konstruksi ditemukan kendala pada pembangunan terowongan pengelaknya. Terowongan ini menembus litologi berupa tuffaceous silty claystone. Pada suatu segmen dari terowongan pengelak ini, terjadi keruntuhan (failure) yang didahului oleh konvergen tinggi pada dinding terowongan sehingga mengakibatkan timbulnya kerusakan pada sistem penyanggaan awal yang sebelumnya telah terpasang pada terowongan. Deformasi intens ini disebabkan oleh fenomena swelling pada material clay yang ditembus oleh konstruksi terowongan pengelak. Fenomena swelling menyebabkan turunnya kekuatan massa batuan di sekitar terowongan dan memberikan tekanan tambahan yang berlebih pada dinding terowongan. Pada penelitian ini, dibuat pemodelan numerik secara 3 dimensi sepanjang segmen tersebut untuk menentukan kondisi massa batuan di sekitar terowongan saat keruntuhan tepat akan terjadi. Variabel pemodelan kondisi massa batuan yang digunakan adalah modulus deformasi, koefisien earth pressure, dan swelling pressure. Hasil iterasi pemodelan numerik menunjukkan bahwa zona pelemahan di sekitar terowongan mengalami penurunan modulus deformasi menjadi 55 MPa dan peningkatan swelling pressure sebesar 0,65 MPa. Selanjutnya, akan dirumuskan beberapa model rekomendasi tambahan penyangga untuk mengatasi fenomena swelling yang terjadi, yaitu (1) penggunaan grouted forepoling pada bagian atap dengan ? sebesar 90o disertai penambahan invert beam WF 100 x 100, (2) penggunaan grouted forepoling pada seluruh bagian atap disertai penambahan invert beam WF 100 x 100, dan (3) penggunaan grouted forepoling pada seluruh bagian atap dan sisi terowongan disertai penambahan invert beam WF 100 x 100. Metode penanganan fenomena swelling pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan mampu menurunkan nilai konvergen total pada sidewall menjadi 2,36 cm, 2,2 cm dan 2 cm. Dengan demikian, penelitian ini memberikan hasil bahwa penanganan fenomena swelling terbaik pada terowongan pengelak adalah metode grouted forepoling pada atap dengan ? = 90o disertai penambahan invert beam WF 100 x 100.