digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

COVER Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 1 Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 2 Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 3 Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus


BAB 5 Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

PUSTAKA Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

LAMPIRAN Gammamerdianti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia cenderung memiliki intensitas curah hujan yang sangat bervariasi. Berdasarkan intensitas curah hujan tersebut, penentuan musim di Indonesia dilakukan. Musim kemarau di Indonesia terjadi pada bulan Juni hingga September (JJAS). Periode tersebut bertepatan dengan Indian Summer Monsoon (ISM), di mana sub-kontinen India dan sekitarnya sebagian besar menerima transpor kelembapan dari lautan di wilayah Indo-Pasifik. Namun, terdapat beberapa tahun dengan musim kemarau yang mengalami anomali basah, atau yang lebih dikenal sebagai "musim kemarau basah/wet dry-season" yang sangat popular di kalangan media di Indonesia. Di sisi lain, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia secara resmi mendefinisikan variasi curah hujan musiman dengan tiga kategori, yaitu di atas normal (AN), normal (N), dan di bawah normal (BN). Namun, tidak ada definisi yang jelas tentang kejadian kemarau basah yang merujuk pada kriteria AN untuk curah hujan musim kemarau. Penelitian ini bertujuan untuk membuat definisi yang jelas tentang kejadian kemarau basah dengan menerapkan kriteria AN, N, dan BN pada variasi curah hujan musiman menggunakan data curah hujan berbasis grid. Anomali konvergensi kelembapan yang terkait dengan tahun-tahun yang diidentifikasi sebagai musim kemarau basah juga dianalisis. Variabilitas curah hujan ISM diketahui memiliki keterkaitan kuat dengan oleh El Niño Southern Oscillation (ENSO) fase negatif, yaitu La Niña. Namun demikan, hubungan antara La Niña dan anomali curah hujan musim kemarau di Indonesia belum dikaji lebih jauh. Selain itu, kejadian La Niña diketahui dapat digolongkan ke dalam dua tipe utama, yaitu, Central Pacific (CP) dan Eastern Pacific (EP). Namun, terdapat pula tipe La Niña lainnya, yaitu La Niña Mix yang merupakan gabungan antara tipe EP dan CP di area NINO 3.4. Tipe-tipe La Niña tersebut mempunyai keterkaitan yang berbeda terhadap anomali iklim pada masing-masing wilayah monsun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam periode 30 tahun (1993 hingga 2022), kejadian kemarau basah teridentifikasi sebanyak delapan kejadian, yaitu pada tahun 1995, 1996, 1998, 2010, 2013, 2016, 2021, dan 2022. Identifikasi kejadian kemarau basah berdasarkan fase negatif ENSO (La Niña) secara umum, seperti yang didefinisikan menggunakan indeks standar (NINO 3.4), hanya menjelaskan sebesar 37,5% atau hanya tiga dari delapan kejadian kemarau basah. Ketika definisi La Niña Pasifik Timur (EP), Pasifik Tengah (CP) dan tipe campuran (Mix) digunakan, sebanyak 62,5% kejadian dapat dikaitkan dengan fenomena ENSO dalam fase negatif atau La Niña, yaitu lima dari delapan kejadian kemarau basah pada tahun 1995, 1998, 2010, 2013, dan 2022. Kejadian kemarau basah ini ditandai dengan pola konvergensi kelembapan dipol yang khas, terutama di atas wilayah Indonesia dan Asia Selatan. Indeks konvergensi kelembapan atau Moisture Convergence Dipole Indices (MCDI) yang dikembangkan di wilayah-wilayah tersebut menunjukkan evolusi anomali yang mungkin mengindikasikan tanda awal terjadinya kemarau basah di Indoneia. MCDI menunjukkan konvergensi kelembapan di Indonesia dan India berada dalam fase yang sama ketika kemarau basah di Indonesia dipengaruhi oleh ENSO fase negafif atau La Niña. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa kemarau basah di Indonesia bertepatan dengan Indian Summer Monsoon (ISM) yang juga terjadi pada bulan Juni hingga September (JJAS). Diperlukan penelitian yang lebih banyak untuk memahami kejadian-kejadian kemarau basah yang tidak dapat langsung dikaitkan dengan La Niña.