digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Goesthi Kusuma Atmaja Adh
PUBLIC Irwan Sofiyan

Gedung tinggi sudah menjadi sebuah kebutuhan di Jakarta sebagai kota bisnis dan pusat pemerintahan di Indonesia, hal ini dikarena ketersediaan lahan yang terbatas sementara demand sangat tinggi. Pembangunan gedung baru akan memakan biaya yang besar, sehingga dari pada investasi pada pembangunan gedung baru, akan lebih baik apabila memanfaatkan gedung yang ada. Namun untuk memenuhi kebutuhan, gedung yang ada akan ditambah jumlah tingkatnya. Umumnya pelaku struktur di Indonesia merencanakan bangunan gedung dengan metode preskriptif. Akan tetapi, metode preskriptif tidak mengcover permasalahan diatas karena kapasitas penampang elemen struktur yang didesain dengan menggunakan metode preskriptif sudah dianggap cukup dalam menerima beban yang bekerja, sehingga diasumsikan apabila beban melebihi kapasitas maka struktur akan gagal. Kecuali akan dilakukan perkuatan dengan menambah kapasitas pada elemen strukturnya. Namun perkuatan struktur pada bangunan tinggi akan menimbulkan biaya yang juga tidak sedikit. Sementara bangunan gedung yang didesain dengan metode preskriptif dirancang berperilaku secara linier elastik, sehingga hal inilah yang menyebabkan metode preskriptif pada kebanyakan kasus sering kali dianggap terlalu konservatif, dengan demikian gedung yang didesain dengan metode preskriptif mestinya memiliki spare capacity. Pada penelitian ini, dilakukan pemodelan struktur 20 lantai (sebagai bangunan awal) dengan menggunakan metode preskriptif atau berbasis code hingga diperoleh penampang dan kebutuhan tulangan yang sesuai dan ekonomis sehingga membatasi DCR pada elemen strukturnya mendekati 1.0, hal ini untuk menjamin bahwa struktur tidak terjadi over design pada tahap awal. Kemudian, struktur dilakukan penambahan jumlah lantai sebesar 10%. Namun, struktur 22 lantai tersebut tetap menggunakan dimensi dan penulangan sebagaimana struktur 20 lantai. Untuk melihat perilaku struktur mendekati kondisi yang sebenarnya saat terjadi gempa maka struktur 22 lantai dilakukan Nonlinear Time History Analysis (NLTHA) sebagai penerapan dari prinsip Performance Based Seismic Design (PBSD) dengan sasaran kinerja Enhanced Performance Objectives. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui perubahan respon dinamik struktur, menganalisis dan memanfaatkan spare capacity banguan yang didesain dengan metode preskriptif dapat dijadikan sebagai beban penambahan jumlah lantai, mengetahui perbandingan DCR bangunan sebelum dan setelah ditambah jumlah lantai, dan mengetahui perbandingan DCR dengan analisis metode LDP (SNI 1726:2019), LSP (ASCE 41-17), NDP (ASCE 41-17). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, struktur 22 lantai apabila dianalisis dengan metode LDP (SNI 1726:2019) menunjukkan beberapa DCR elemen struktur telah melebihi 1.0 pada beberapa balok dan kolom. Sehingga dengan menggunakan LDP tersebut mengindikasikan bahwa struktur perlu dilakukan perkuatan untuk menambah kapasitasnya. Apabila dilakukan analisis dengan menggunakan LSP (ASCE 41-17) menunjukkan bahwa sebagian besar elemen struktur memiliki final DCR melebihi 3.0, yang mana memiliki makna sebagian besar elemen tersebut sudah berperilaku nonlinier pada taraf gempa yang ditinjau (BSE-1N dan BSE-2N), sehingga metode LSP tersebut tidak dapat digunakan sebagai analisis (Not Applicable). Sedangkan apabila dilakukan analisis dengan menggunakan metode NDP (ASCE 41-17) dengan melakukan NLTHA elemen struktur yang dinyatakan gagal dengan menggunakan analisis sebelumnya, memiliki nilai final DCR kurang dari 1.0 baik pada taraf gempa BSE-1N dan BSE-2N. Dengan demikian, dengan menerapkan analisis yang lebih komprehensif yaitu NLTHA mengindikasikan bahwa elemen struktur tidak perlu dilakukan perkuatan. Adapun penilaian kinerja pada struktur 22 lantai hasil analisis NLTHA, juga masih memenuhi semua persyaratan dan kriteria penerimaan yang ditentukan dalam ASCE 41-17. Hasil rata-rata dari sebelas ground motion pada taraf gempa BSE-1N, deformasi maksimum terjadi pada balok sebesar 0.53 LS dan pada taraf gempa BSE-2N deformasi maksimum terjadi pada balok sebesar 0.59 CP. Selain itu, akibat gempa BSE-1N menyebabkan dari keseluruhan elemen struktur terdapat 17.1% elemen struktur leleh, 0.95% mengalami deformasi IO, dan tidak ada elemen struktur yang melampaui batas deformasi LS. Sedangkan akibat gempa BSE-2N menyebabkan dari keseluruhan struktur terdapat 47.4% elemen struktur leleh, 9.61% mengalami deformasi IO, 0.23% mengalami deformasi LS, dan tidak ada elemen struktur yang melampaui batas deformasi CP.