Penyakit katastropik merupakan penyakit yang memerlukan biaya besar dan
memakan waktu lama dalam pengobatannya. Di Indonesia, penyakit katastropik
dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan selaku asuransi kesehatan nasional. Hal ini
menyebabkan pengeluaran BPJS Kesehatan menjadi membengkak. Untuk
mengurangi pengeluaran yang signifikan tersebut, diperkenalkanlah skenario
coordination of benefit (CoB). CoB adalah skenario yang digunakan ketika dua atau
lebih perusahaan asuransi menanggung individu yang sama. Saat ini, BPJS
Kesehatan telah menerapkan CoB melalui kerja sama dengan asuransi kesehatan
tambahan (AKT). Dalam skenario CoB yang telah diterapkan, AKT hanya
bertanggung jawab atas klaim yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Namun,
skenario CoB yang telah berjalan belum mampu mengurangi pengeluaran BPJS
Kesehatan secara signifikan. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi skenario CoB
yang melibatkan BPJS Kesehatan dan AKT secara langsung melalui konsep
reasuransi proporsional. Dalam skenario ini, BPJS Kesehatan akan membagi beban
klaim dengan AKT berdasarkan proporsi yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak. Dalam penentuan proporsi sharing, utilitas dari kedua perusahaan asuransi
dipertimbangkan agar tetap maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan memilih parameter utilitas AKT yang semakin kecil, proporsi sharing akan
semakin besar, sementara dengan memilih parameter utilitas BPJS Kesehatan yang
semakin kecil, proporsi sharing akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa
penentuan premi dan proporsi sharing dalam skenario CoB dapat disesuaikan
dengan preferensi dan kebutuhan masing-masing perusahaan asuransi.
Setelah itu, dalam konsep reasuransi proporsional, asuransi pertama perlu membayar
premi kepada asuransi kedua. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi sehingga BPJS
Kesehatan tidak perlu membayar premi kepada AKT dan sebaliknya. Namun,
peserta asuransi akan membayar dua premi secara sekaligus karena memiliki dua
asuransi kesehatan. Tambahan premi ini menjadi tantangan perusahaan asuransi
dalam menawarkan produk asuransi dengan skenario CoB kepada masyarakat.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan ukuran perasaan yang dapat memandu
peserta dalam mengambil keputusan, yang disebut dengan risk aversion. Penelitian
sebelumnya oleh Thomas (2015) merekomendasikan keengganan berinvestasi
sebagai salah satu variabel penting dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kekayaan peserta memiliki pengaruh terhadap keengganan berinvestasi dan dapat memengaruhi pengambilan keputusan. Semakin besar
kekayaan seseorang, semakin besar pula keengganan berinvestasinya. Oleh karena
itu, kekayaan dan risk aversion dapat menjadi pedoman bagi perusahaan asuransi
dalam menentukan target peserta asuransi. Dengan demikian, implementasi skenario
CoB dalam asuransi kesehatan di Indonesia memiliki potensi untuk ditawarkan
kepada masyarakat.