Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan, yaitu apoteker. Munculnya fenomena perluasan paradigma lama ke paradigma baru
dengan filosofi pharmaceutical care menuntut peran apoteker untuk meningkatkan mutu
pelayanan kefarmasian. Namun, peranan tersebut belum dijalankan secara optimal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi dan ekspektasi, kesenjangan antara ekspektasi dan
realita, serta menganalisis hubungan faktor sosiodemografi dengan persepsi dan ekspektasi
masyarakat di Kota Bandung terhadap peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian. Harapannya,
penelitian ini dapat dijadikan basis refleksi dan evaluasi agar apoteker dan pemerintah bekerja
sama untuk membenahi mispersepsi dan kesenjangan yang terbentuk di kalangan masyarakat
melalui edukasi dan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian. Data penelitian dianalisis secara
deksriptif dan inferensial dengan pendekatan potong lintang terhadap 440 responden.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret hingga April 2023 di Kota Bandung, Jawa Barat,
Indonesia. Hasil analisis menunjukkan 58,41% masyarakat memiliki persepsi positif, 56,82%
masyarakat memiliki ekspektasi tinggi, rata-rata kesenjangan antara ekspektasi dan realita sebesar
14,04%, serta lebih dari 50% masyarakat memiliki kepercayaan tinggi terhadap apoteker. Faktor
sosiodemografi yang memengaruhi persepsi adalah faktor usia dan pendidikan terakhir (p = 0,005;
p = 0,003), yang memengaruhi kepercayaan adalah faktor usia, pendidikan terakhir, domisili KTP,
dan pekerjaan (p < 0,001; p = 0,034; p = 0,001; p = 0,001), dan yang memengaruhi ekspektasi adalah
faktor domisili KTP (p = 0,043). Berdasarkan hasil penelitian, dimensi persepsi, ekspektasi, dan
kepercayaan memiliki korelasi antarsatu sama lain sehingga dengan fokus membenahi mispersepsi
dapat meminimalkan kesenjangan antara ekspektasi dan realita yang dirasakan masyarakat
terhadap peran apoteker.