digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kota Administrasi Jakarta Pusat menghadapi tantangan serius terkait kualitas udara yang hampir masuk kategori tidak sehat serta penurunan keanekaragaman hayati. Masalah ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang berimplikasi pada berkurangnya kapasitas lingkungan dalam menyerap polutan, menjaga kualitas udara, dan melestarikan ekosistem lokal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, setiap kota diwajibkan memiliki 30% dari total luas wilayahnya sebagai RTH, terdiri atas 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Namun, realisasi di Jakarta Pusat baru mencapai 8% untuk RTH publik dan belum diketahui ketercapaian RTH privat. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung luas RTH eksisting dan kebutuhan tambahan RTH, menentukan jenis dan area potensial yang dapat dikembangkan sebagai RTH, mengidentifikasi persepsi pemangku kepentingan terhadap pengembangan RTH, serta merumuskan strategi pengembangan RTH yang efektif melalui taman atap bangunan. Metode yang digunakan meliputi analisis spasial untuk menghitung luas RTH eksisting serta memetakan area potensial untuk pengembangan. Persepsi pemangku kepentingan dianalisis menggunakan statistika deskriptif dan uji Mann-Whitney untuk perbandingan persepsi. Selain itu, analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi berdasarkan hasil analisis spasial dan persepsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas RTH eksisting di Jakarta Pusat mencapai 623,04 hektar atau sekitar 12,9% dari total luas wilayah. Dari jumlah tersebut, 8% merupakan RTH publik dan 4,9% RTH privat. Dengan demikian, Jakarta Pusat membutuhkan tambahan RTH seluas 820,86 hektar atau 17,1% dari total luas wilayah untuk memenuhi target 30% sebagaimana diamanatkan undang-undang. Area potensial untuk pengembangan RTH meliputi 11,7 hektar lahan kosong dan 335,6 hektar atap datar dak beton milik publik maupun privat. Jika seluruh area potensial ini dioptimalkan, tambahan RTH yang dapat dicapai adalah sebesar 7,2% dari total luas wilayah. Potensi atap lebih besar dibandingkan lahan kosong, menjadikannya langkah strategis di kawasan perkotaan padat seperti Jakarta Pusat. Pemerintah memiliki pemahaman dan dukungan tertinggi, diikuti masyarakat, sedangkan perusahaan memiliki persepsi terendah, terutama terkait inisiatif RTH di lingkungan kerja. Perbedaan persepsi terdapat antara pemerintah dan perusahaan serta pemerintah dan masyarakat, sedangkan antara perusahaan dan masyarakat tidak ada perbedaan. Strategi prioritas meliputi “Kolaborasi Pemanfaatan Atap Datar Milik Pemerintah melalui Skema Public-Private Partnership (PPP)” dan “Pilot Project Taman Atap di Gedung Pemerintah dengan Biaya Terjangkau”, yang dinilai tinggi berdasarkan relevansi, feasibilitas, dampak, dan dukungan pemangku kepentingan. Strategi ini berpotensi besar mendorong pengembangan taman atap secara cepat dan efektif. Meskipun pengembangan seluruh area potensial tidak mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan RTH sesuai standar, langkah ini memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Jakarta Pusat. Implementasi taman atap bangunan menjadi solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan lahan sekaligus meningkatkan luasan RTH. Keberhasilan upaya ini bergantung pada kolaborasi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat serta perencanaan yang matang untuk keberlanjutan taman atap.