Bandar Udara berperan dalam menyediakan konektivitas dan aksesibilitas dari suatu daerah ke daerah lainnya, tak terkecuali di daerah Kediri, Jawa Timur. Penggunaan moda pesawat terbang semakin hari semakin meningkat untuk masyarakat melakukan pergerakan secara efektif dan efisien sehingga Bandar Udara yang ada harus mampu memenuhi pergerakan yang ada. Bandar Udara memerlukan perkerasan yang kuat agar dapat memenuhi pergerakan sehingga hal tersebut harus diperhatikan secara matang, terlebih pesawat yang akan dilayani di Bandar Udara yang dijadikan tinjauan memiliki variasi pesawat terbang yang beragam mulai dari narrow-body aircraft hingga wide-body aircraft. Dalam perancangan Bandar Udara, terdapat dua standar acuan yang digunakan yaitu ICAO (International Civil Aviation Organization) dan FAA (Federal Aviation Administration). Metode yang dijadikan standar dalam perancangan perkerasan fasilitas sisi udara yang berlaku saat ini ada dua, yaitu ICAO Part 3 dan FAA Advisory Circular 150/5320-6G. Pada metode FAA 150/5320-6G, terdapat perubahan dari sistem ACN (Aircraft Classification Number) dan PCN (Pavement Classification Number) menjadi ACR (Aircraft Classification Rating) dan PCR (Pavement Classification Rating). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil perhitungan dengan kedua metode baik menggunakan metode ICAO Part 3 dan FAA Advisory Circular 150/5320-6G kemudian dari kedua metode tersebut dilakukan analisis perbandingan dengan studi kasus Bandar Udara Dhoho Kediri. Pada penelitian ini digunakan beberapa perangkat lunak seperti FAARFIELD 2.0 dan COMFAA 3.0. Pada penelitian ini, yang dijadikan perbandingan untuk analisis adalah hasil nilai ACN-PCN, ACR-PCR, CDF, dan tebal perkerasan dari dua tahapan yaitu Tahap 1 (2023 – 2042) dan Tahap 2 (2043) sesuai dengan tahun rencana desain 20 tahun. Pada perkerasan lentur yang akan dirancang Tahap 1, FAA Advisory Circular 150/5320-6F menghasilkan nilai CDF = 1 dan nilai PCN 100/F/C/X/T. Kemudian, FAA Advisory Circular 150/5320-6G menghasilkan nilai CDF = 0,69, nilai PCR 829/F/C/X/T, dan nilai PCN 97/F/C/X/T. Terakhir, ICAO Part 3 menghasilkan nilai CDF = 0,5 dan nilai PCN 112/F/C/X/T. Pada Tahap 2, FAA Advisory Circular 150/5320-6F menghasilkan ii nilai CDF = 1 dan nilai PCN 109/F/C/X/T. Kemudian, FAA Advisory Circular 150/5320-6G menghasilkan nilai CDF = 0,69, nilai PCR 830/F/C/X/T, dan nilai PCN 120/F/C/X/T. Terakhir, ICAO Part 3 menghasilkan nilai CDF = 0,44 dan nilai PCN 98/F/C/X/T. Berdasarkan hasil perhitungan yang ada, untuk perkerasan lentur pada fasilitas sisi udara yang menjadi tinjauan, metode FAA Advisory Circular 150/5320-6G dan ICAO Part 3 dapat dijadikan sebagai alternatif karena keduanya memiliki hasil yang tidak jauh berbeda. Namun, pada FAA Advisory Circular 150/5320-6G memperbaiki kegagalan yang terjadi pada subgrade sehingga kekuatan yang akan dihasilkan pada bagian subgrade akan lebih baik dengan perkerasan yang tidak terlalu tebal. Kemudian jika tebal ditinjau atas dua pembagian, yaitu lapisan permukan atau surface dan lapis granular, maka tebal yang ada adalah untuk ICAO Part 3 Tahap 1 sebesar 150 mm untuk lapisan surface dan 1050 mm untuk lapisan granular; ICAO Part 3 Tahap 2 sebesar 210 mm untuk lapisan surface dan 1050 mm untuk lapisan granular; FAA 150/5320-6G Tahap 1 sebesar 127 mm untuk lapisan surface dan 899 mm untuk lapisan granular; FAA 150/5320-6G Tahap 2 sebesar 201 mm untuk lapisan surface dan 899 mm untuk lapisan granular. Perbedaan tebal pada kedua metode ini dikarenakan ICAO meninjau sistem perkerasan secara keseluruhan berdasarkan metode Westegaard dan FAA meninjau sistem perkerasan secara lapis per lapis berdasarkan metode LEA (Layered Elastic Analysis). Peninjauan lapis per lapis membuat tebal yang dihasilkan jauh lebih efektif dibandingkan peninjauan perkerasan secara keseluruhan.