Indonesia memiliki Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) sebagai
suatu sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami untuk mengurangi risiko
bahaya gempa bumi dan tsunami di wilayah Indonesia. InaTEWS dirancang
menggunakan data multi-sensor (seismometer, akselerometer, dan GNSS), namun
dalam beberapa tahun terakhir hanya menggunakan data seismometer untuk
mendeteksi dan mengkarakterisasi parameter gempa bumi. Seismometer
mengalami tantangan dalam mengkarakterisasi gempa bumi besar dengan jarak
yang dekat. Selaras dengan seismometer, akselerometer juga tidak bisa
membedakan translasi dan rotasi sehingga menyebabkan ketidakakuratan dalam
memperkirakan guncangan tanah pada saat gempa bumi besar. Berkebalikan
dengan seismometer dan akselerometer, GNSS dapat memberikan estimasi slip
yang akurat pada saat gempa bumi besar terjadi.
Estimasi geodetik slip dari pengamatan GNSS memberikan estimasi magnitudo
gempa bumi yang lebih akurat untuk magnitudo yang besar, sedangkan InaTEWS
yang dikembangkan di Indonesia belum mengakomodir GNSS sebagai salah satu
parameter dalam penentuan magnitudo gempa bumi. Metode seismogeodesi
digunakan untuk menggabungkan kelebihan dan mereduksi kekurangan dari sensor
akselerometer dan GNSS. Meskipun tidak memenuhi standar maksimal jarak 4 km
antar stasiun, stasiun GNSS CORS dan akselerometer dalam penelitian ini mampu
untuk menghasilkan peringatan dini gempa bumi yang lebih cepat daripada dengan
sistem konvensional seismik. Perbandingan nilai magnitudo gempa bumi hasil
estimasi dengan rilis magnitudo gempa bumi final dari BMKG menunjukkan nilai
RMSE sebesar 0,01 (Gempa Cianjur Mw5,6), 0,29 (Gempa Palu Mw7,4), dan 0,77
(Gempa Tehoru Mw6,0).