Perkembangan konsep smart city sejak awal sangat didominasi oleh pengaruh
infrastruktur keras dan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Namun secara
perlahan konsep smart city mulai melihat sisi lain yang lebih penting, yaitu smart
city as a city with high quality of life, yakni fokus kepada faktor infrastruktur lunak
dan manusianya. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan infrastruktur lunak
dalam pembahasannya didukung dengan infrastruktur keras.
Seiring perkembangannya, konsep smart city dihubungkan secara meluas pada
berbagai bidang ilmu. Beberapa peneliti juga telah mengaitkan konsep smart city
dengan konsep lainnya yang memiliki visi dan menuju arah yang sama, seperti:
smart city dengan konsep sustainablity, smart city dan persuasive city, smart city
dan global city, smart city dan digital city, serta smart city dan konsep resiliensi.
Resiliensi merupakan salah satu konsep penting yang berdampak terhadap smart
city, sehingga penting untuk dimasukkan agar dapat membentuk konsep smart city
yang berketahanan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan
kasus peristiwa mega tsunami pada 26 Desember 2004 di Gampong Lambung,
Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Dalam merumuskan
konsep smart city berbasis resiliensi, analisis dilakukan melalui tiga tahap, yaitu
menganalisis model-model smart city yang telah ada sebelumnya melalui metode
Analysis, Design, Develop, Investigate, Evaluate; analisis resiliensi melalui
pendekatan sociological institutionalism, dan yang terakhir analisis konsep SSRCC
atau Soft Smart Resilient City Concept melalui metode pengembangan faktor dan
indikator pada masing-masing dimensi yakni dimensi smart people, smart
governance, smart living, smarty mobility, smart environment, dan smart economy.
Melalui pendekatan analisis sociological institutionalism, disimpulkan bahwa,
konsep resiliensi Gampong Lambung dibentuk oleh tiga dimensi dan 10 indikator
penting. Pada dimensi aktor, arena dan suasana, indikator terpenting adalah: adanya
kekuatan dan karakter kepemimpinan lokal; arena/tempat yang memiliki keuatan
ikatan emosional (seperti tempat ibadah, meunasah, dan balai); suasana
musyawarah untuk mencapai mufakat atas dasar sukarela dan perasaan senasib
sebagai korban bencana. Pada dimensi proses tata kelola, indikator yang palingii
penting dalam mencapai resiliensi adalah terjadinya koalisi, kolaborasi dan
koordinasi secara luas dengan banyak pihak di dalam dan luar negeri; tata kelola
gampong juga fokus sekali pada kegiatan proses perencanaan desa kedepan,
meningkatkan prestasi desa, dan peningkatan SDM dibidang ketangguhan dan
kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya tsunami akibat gempa bumi.
Terakhir pada dimensi budaya tata kelola, indikator yang paling penting adalah;
karakter warga yang religius dan berpasrah pada sang maha pencipta, memberikan
kekuatan yang lebih dalam menghadapi tekanan berat; budaya masyarakat setempat
yang terus dipelihara seperti mempercayai dan menghormati pemimpinnya; serta
keterbukaan warga terhadap perubahan dan keterlibatannya dalam proses
pembangunan.
Dari konsep resiliensi tersebut, maka konsep smart city dengan pendekatan soft
infrastructure atau “Soft Smart Resilient City Concept (SSRCC)” dapat dirumuskan
menjadi enam dimensi 31 faktor, dan 126 indikator. Dari keenam dimensi, dimensi
yang paling penting dan memiliki peran besar adalah dimensi smart people, smart
governance, dan smart living. Dimensi smart people menjadi prioritas utama
karena pentingnya unsur manusi untuk terus meningkatkan kualifikasinya,
keinginan untuk terus belajar, toleransi dan kerukanan dalam pluralitas, fleksibilitas
menerima tekanan, kemampuan menyesuaikan diri, sikap kreatif, keterbukaan
pikiran, serta tingginya tingkat partisipasi publik dalam proses pembangunan
gampong, sehingga dapat mewujudkan konsep SSRCC di dalamnya Hal ini
didapat berdasarkan penilaian terhadap masing-masing indikator sejak
sebelum bencana, saat bencana, hingga setelah bencana.