Kecelakaan kerja di industri mayoritas disebabkan oleh rendahnya perilaku
keselamatan pekerja. Pada penelitian ini, dikembangkan model perilaku
keselamatan pekerja di industri kecil menengah (IKM) dan intervensi untuk
meningkatkan perilaku keselamatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi pengaruh faktor individu dan organisasi, memodelkan perilaku
keselamatan, merancang, dan melakukan intervensi beserta evaluasinya di IKM
logam. Model dasar yang dikembangkan adalah model Guo dkk. (2018) yang
paling merepresentasikan kondisi di IKM Indonesia. Penerapan intervensi
dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya pengaruh.
Pengembangan model dilakukan dengan mengidentifikasi faktor perilaku
keselamatan yang relevan dengan IKM. Penelitian dilakukan dalam empat tahap.
Tahap 1 bertujuan untuk mengevaluasi motif ketidakterbukaan (safety silence
motive/SSM) dan komunikasi keselamatan sebagai faktor pengembangan yang
akan diintegrasikan pada model dasar. Pada tahap ini responden yang dilibatkan
sejumlah 67 pekerja dari 29 IKM. Tahap 2 dan 3 bertujuan untuk mengevaluasi
pengembangan model perilaku keselamatan IKM serta evaluasi berdasarkan
multigrup (Industri Kecil/IK dan Industri Menengah/IM). Pada tahap ini jumlah
responden adalah 203 pekerja dari 54 IKM yang berbeda pada tahap sebelumnya.
Evaluasi multigrup dilakukan untuk mengevaluasi adanya perbedaan model
perilaku keselamatan pada IK maupun IM. Tahap 4 adalah perancangan intervensi
dan evaluasi perilaku keselamatan.
Penelitian ini menggunakan teknik survei cross sectional study pada
pengembangan model perilaku keselamatan dan longitudinal study pada intervensi
perilaku keselamatan. Evaluasi tahap 1 dan 2 dilakukan dengan menggunakan
partial least square-structural equation modeling (PLS-SEM). Tahap 3 dilakukan
evaluasi multigrup berdasarkan skala industri (Multigroup Analysis/MGA-SEM).
Pada tahap 4 dilakukan intervensi perilaku keselamatan berdasarkan pada hasil
pemodelan.
Pada tahap 1 diperoleh hasil; [1]. Komunikasi keselamatan berpengaruh secara
langsung terhadap partisipasi keselamatan (?=0,731, p<0,01) dan kepatuhan
keselamatan (?=0,709, p<0,01), [2]. SSM berpengaruh secara langsung terhadap
komunikasi keselamatan (?=-0,287, p<0,05), [3]. Safety silence motive dapat
direfleksikan/dijelaskan oleh SSM-relation (?=0,830, p<0,01), SSM-climate
(?=0,811, p<0,01), SSM-issue (?=0,842, p<0,01), dan SSM-job (?=0,521, p<0,01).
Tahap 2 dan 3 berdasarkan data 203 responden dari 54 IKM (27 IM dan 27 IK)
yang dianalisis dengan metode MGA-SEM menunjukkan perbedaan pengaruh
antara IK dan IM pada: pengaruh dukungan sosial terhadap kepatuhan keselamatan
(?IK-IM=0,503, p<0,05), tekanan produksi terhadap pengetahuan keselamatan (?IKIM=
0,445, p<0,01), tekanan produksi terhadap partisipasi keselamatan (?IKIM=
0,290, p<0,05), tekanan produksi terhadap kepatuhan keselamatan (?IKIM=
0,547, p<0,01), SSM terhadap komunikasi keselamatan (?IK-IM=0,355, p<0,05),
SSM yang dijelaskan oleh SSM-issue (?IK-IM=0,469, p<0,05), SSM yang dijelaskan
oleh SSM-job (?IK-IM=0,779, p<0,01).
Pada tahap 4 dilakukan perancangan, implementasi, dan evaluasi terhadap indikator
intervensi, spesifik pada tingkat kepatuhan pemakaian alat pelindung diri (APD)
oleh pekerja pengelasan/juru las. Intervensi terdiri dari dua perlakuan/level yaitu
intervensi konten manfaat (level 1) dan konten risiko/bahaya (level 2). Intervensi
diberikan melalui pemutaran video dengan konten berupa manfaat pemakaian APD
dan risiko/bahaya karena tidak menggunakan APD melalui aplikasi whatsApp pada
tiga juru las yang berbeda di lokasi yang berbeda. Efektivitas intervensi dievaluasi
berdasarkan kinerja kognitif, afektif, dan konatif. Instrumen pengukuran kognitif
dan afektif menggunakan kuesioner yang diukur sebelum dan setelah intervensi.
Sementara itu, evaluasi konatif menggunakan pengamatan secara langsung dan
random berdasarkan sampling pengamatan secara acak yang dicapture dengan
menggunakan closed circuit television (CCTV).
Indikator kepatuhan pemakaian APD yang dievaluasi adalah; APD 1 [helm las/topi
kulit], APD 2 [google/kaca mata/kedok las], APD 3 [apron (dada+tangan)], APD 4
[sarung tangan–sepasang], APD 5 [masker las], APD 6 [sepatu safety]. Intervensi
yang dirancang berdasarkan indikator komunikasi keselamatan.
Intervensi konten manfaat pada reaksi kognitif tidak ditemukan perbedaan
kepatuhan pemakaian APD secara signifikan pada intervensi manfaat (z=-1,000;
p>0,05) dan intervensi risiko (z=-1,000; p>0,05). Pada reaksi afektif tidak
ditemukan perbedaan signifikan kepatuhan pemakaian APD pada intervensi
manfaat (z=0,000; p>0,05) dan intervensi risiko (z=0,000; p>0,05). Pada reaksi
konatif ditemukan perbedaan signifikan kepatuhan pemakaian APD pada intervensi
manfaat (?=-0,2094; p<0,05) tetapi tidak ditemukan perbedaan signifikan
kepatuhan pemakaian APD pada dan intervensi risiko (?=-0,0200; p>0,05). Hasil
ini menunjukkan bahwa tipe intervensi manfaat menunjukkan adanya efektivitas
terhadap perubahan perilaku/aspek konatif.
Adanya perbedaan kinerja kepatuhan keselamatan antara reaksi kogntif, afektif dan
konatif dikarenakan upaya yang dikerahkan pada masing-masing level reaksi
berbeda. Reaksi konatif merepresentasikan perilaku/tindakan riil juru las/partisipan
dibandingkan dengan pengetahuan (kognitif) maupun itikad/keinginan (afektif)
dalam memakai APD. Reaksi konatif lebih dinamis dibandingkan dengan reaksi
kognitif dan afektif. Oleh karena itu, memastikan efektivitas perubahan perilaku
terkait kepatuhan terhadap APD dibutuhkan evaluasi pada reaksi konatif di IKM
Pengolahan Logam Jawa Timur.