digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Aisya Arifin
PUBLIC Irwan Sofiyan

Pembangunan proyek konstruksi untuk infrastruktur publik terus meningkat. Pembangunan infrastruktur bertujuan guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu infrastruktur publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adalah pembangunan bendungan. Pembangunan infrastruktur merupakan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Salah satu wujud dari program tersebut adalah strategi operasional waduk multiguna dan modernisasi irigasi. Bendungan X merupakan salah satu dari 46 bendungan yang dibangun pada periode Renstra 2020-2024. Material utama dalam pembangunan bendungan adalah material beton. Volume beton yang dibutuhkan berjumlah besar yaitu kurang lebih sebesar 600.000 m3. Selain itu bendungan berada pada remote area atau daerah terpencil yaitu sejauh 175 kilometer dari pusat kota. Selain itu akses menuju lokasi bendungan sulit karena bendungan terletak pada area hutan dan kondisi jalan yang belum terdapat perkerasan jalan (beton atau aspal). Dalam hal ini, rantai pasok material beton menemui kendala yaitu lokasi bendungan yang cukup sulit untuk dijangkau sehingga pasokan material memungkinkan terjadi kegagalan. Salah satu sumber kegagalan dalam rantai pasok adalah material tidak tersedia ketika akan dipasang atau adanya keterlambatan material. Kegagalan pada rantai pasok tersebut akan berdampak pada kegagalan proyek. Kegagalan dari segi biaya yaitu terjadinya cost overrun, kemudian dari segi mutu yaitu mutu tidak sesuai dengan yang disyaratkan, dan dari segi waktu yaitu terjadinya keterlambatan jadwal pelaksanaan proyek. Kegagalan tersebut dapat diminimalisir atau dimitigasi dengan menggunakan manajemen risiko. Manajemen risiko akan mengendalikan risiko yang terjadi sepanjang aktivitas rantai pasok material beton pada proyek bendungan. Risiko pada rantai pasok ditinjau dari beberapa aspek yaitu dari informasi, material, finansial, supply, control, demand, dan proses. Metode pada manajemen risiko yang digunakan oleh penelitian ini adalah Failure Mode and Effect Analysis. Metode Failure Mode and Effect Analysis berkontribusi untuk meminimalisir risiko material beton, kemudian mendeteksi atau mengontrol kemungkinan kegagalan yang terjadi pada rantai pasok material beton, dan FMEA juga menghasilkan output yaitu mendapatkan risiko dominan dari seluruh aktivitas rantai pasok material beton. Penilaian yang digunakan pada metode FMEA adalah menghitung nilai Severity (tingkat keparahan), Occurrence (tingkat kejadian), dan Detection (tingkat deteksi). Kemudian ketiga nilai tersebut dikalikan dan menghasilkan nilai Risk Priority Number (RPN). Risk Priority Number dengan nilai paling tinggi merupakan risiko yang paling dominan untuk kemudian dimitigasi. Berdasarkan hasil analisis risiko menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis didapat 22 faktor risiko dengan 7 faktor risiko termasuk ke dalam kategori risiko tinggi dan 15 faktor risiko termasuk ke dalam risiko sedang. Hasil perhitungan dari metode Failure Mode and Effect Analysis menunjukkan bahwa nilai RPN tertinggi dengan skor 210 menjadi risiko yang paling dominan yaitu faktor risiko dengan kode X16. Faktor risiko tersebut adalah lokasi proyek yang sulit sehingga susah dalam mensuplai material atau membawa peralatan berat. Selain jarak tempuh yang jauh, kondisi fisik jalan menuju lokasi proyek belum semuanya menggunakan struktur perkerasan aspal. Hal tersebut berdampak pada sulitnya melakukan pasokan material atau pada saat membawa peralatan berat. Kode identifikasi risiko X15 yaitu adanya penundaan pekerjaan dari salah satu pemangku kepentingan (stakeholder), menempati urutan kedua teratas. Namun jika dilihat dari matriks risiko, kode X15 yang merupakan ranking 2, berada pada nilai skala Severity 4 dan Probability pada skala 4 sedangkan kode X1 yang merupakan ranking 1 berada pada nilai skala Severity 4 dan Probability pada skala 3. Hal tersebut mencerminkan bahwa adanya penundaan pekerjaan dari salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) merupakan risiko dengan nilai probabilitas yang tinggi karena pada saat pandemi Covid-19, regulasi pemerintah terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kerap kali dilakukan mengingat tingginya angka persebaran Covid-19. PPKM berdampak pada kegiatan pelaksanaan proyek konstruksi yaitu penundaan pekerjaan pelaksanaan pada proyek Bendungan X. Selain itu, faktor risiko yang terjadi sepanjang rantai pasok material beton adalah adanya penundaan pekerjaan dari salah satu pemangku kepentingan (stakeholder), pengiriman ulang material karena rusak saat pemasokan, material rusak dan tidak sesuai dengan persyaratan konstruksi, minimnya jaringan komunikasi di proyek, dan kesulitan mencari material.