digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


BAB 1 Lintang Purnomo Ajie
EMBARGO  2027-05-27 

BAB 3 Lintang Purnomo Ajie
EMBARGO  2027-05-27 

BAB 5 Lintang Purnomo Ajie
EMBARGO  2027-05-27 

BAB 4 Lintang Purnomo Ajie
EMBARGO  2027-05-27 

Sebanyak 33% populasi dunia saat ini diperkirakan tengah mengalami krisis air bersih. Ironisnya, fakta membuktikan bahwa dari 70% air yang ada di permukaan bumi, hanya 0,03% yang dapat digunakan sebagai air bersih. Penyesuaian kadar garam melalui desalinasi air laut layak dikembangkan demi mengatasi kelangkaan air bersih. MD adalah proses pemisahan yang dikendalikan secara termal, dimana hanya molekul uap yang dapat melewati membran hidrofobik berpori. MD bekerja dengan perbedaan tekanan uap umpan. Temperatur operasi MD dapat ditekan sampai 30 oC. Teknologi ini berpotensi melangsungkan desalinasi zero liquid discharge (ZLD) atau tanpa menghasilkan produk samping. Terdapat dua kelemahan utama yang terjadi pada proses MD, yaitu munculnya fouling dan wetting. Fouling adalah fenomena pembentukan material tak diinginkan (foulant) pada permukaan pori membran. Fouling akan membuat pori membran kehilangan sifat hidrofobiknya dan terbasahi oleh cairan. Hal ini membuat permeat terkontaminasi oleh pengotor yang lewat dan kualitas produk menurun. Fenomena ini disebut dengan wetting. Fouling dapat ditekan dengan mengurangi foulant yang banyak terdapat pada air laut. Hal ini dapat dilakukan dengan perlakuan awal menggunakan nanofiltrasi (NF). Fouling pada MD dapat ditekan dengan mengatur temperatur operasi dan laju alir permeat. Peningkatan temperatur operasi MD akan meningkatkan fluks membran seiring dengan menurunnya polarisasi temperatur. Peningkatan laju alir permeat dapat meningkatkan koefisien perpindahan panas dan massa sehingga driving force permeasi uap di sepanjang membran meningkat. Pencegahan fouling dan wetting pada pori membran pun dapat dilakukan dengan modifikasi struktur membran. Pemanfaatan material hidrofilik seperti Nafion diproyeksikan untuk menjamin besaran fluks tetap tinggi. Penelitian terhadap proses NF menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan operasi pada proses NF maka akan semakin tinggi pula fluks membran yang dihasilkan. Fluks rata-rata untuk tekanan operasi 4, 6, dan 8 bar berturut-turut adalah 3,6; 3,8; dan 3,9 LMH. Tidak tampak adanya tren khusus yang menunjukkan korelasi antara tekanan operasi pada proses NF dengan rejeksi ion Ca, Mg, dan Na yang diperoleh. Profil rejeksi terbaik dimiliki oleh proses pada tekanan 5 bar dengan nilai rejeksi Ca, Mg, dan Na berturut-turut adalah 65%, 65%, dan 8%. Penelitian terhadap proses MD menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur operasi MD maka semakin tinggi nilai fluks yang dihasilkan. Nilai fluks rata-rata tertinggi diperoleh pada variasi temperatur 70 oC dan laju sirkulasi permeat 0,88 m/s yaitu mencapai 9,94 kg/m2jam. Tidak ditemukan korelasi yang jelas antara temperatur operasi dengan nilai konduktivitas permeat yang dihasilkan. Tampak bahwa laju sirkulasi permeat memiliki korelasi yang kuat dengan fluks membran yang dihasilkan. Semakin tinggi laju sirkulasi permeat maka semakin tinggi dan/atau stabil fluks membran yang dihasilkan. Adapun korelasi antara laju sirkulasi permeat dengan konduktivitas permeat yang dihasilkan lebih sulit untuk ditentukan. Secara keseluruhan, efek temperatur operasi dan laju sirkulasi permeat terhadap konduktivitas permeat yang dihasilkan cenderung tidak konsisten. Penelitian berkaitan dengan fabrikasi membran komposit menunjukkan bahwa variasi membran komposit 12% memberikan profil anti-fouling yang lebih baik dari membran pristine dan membran komposit 15% dimana fluks bisa tetap stabil pada rentang 5,5 sampai 7 kg/m2jam selama 48 jam. Di sisi lain, variasi membran komposit 15% memberikan profil anti-wetting yang lebih baik dibandingkan membran komposit 12% dimana konduktivitas dapat terjaga tetap stabil selama 30 jam operasi. Namun, profil anti-wetting dari membran pristine adalah yang terbaik dari seluruh variasi, dimana konduktivitas permeat dapat dijaga di bawah 300 ?s/cm. Secara keseluruhan, terdapat hambatan dalam memvalidasi data-data yang ada mengingat pada citra SEM tampak bahwa lapisan coating tidak tersebar secara merata. Interaksi antara lapisan coating dengan fluks dan konduktivitas permeat tidak dapat dinyatakan dengan tegas karena terdapat faktor ketidakmerataan persebaran coating tersebut.