Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki zona laut salah satunya zona ekonomi
eksklusif (ZEE). Namun dari regulasi dan kesepakatan yang tersedia, terdapat
beberapa segmen batas ZEE Indonesia dengan negara tetangga yang masih belum
selesai. Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi
Eksklusif, di area ZEE negara memiliki hak untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi, mengelola dan melestarikan sumber daya alam biologis dan nonbiologis
dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan air diatasnya dan kegiatan lain
untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut. Sesuai dengan hak yang
didapat pada ZEE dapat dilihat bahwa hak tersebut bersinggungan dengan
Sustainable Development Goals (SDGs) 14. Dalam mendukung SGDs 14
pemerintah juga menetapkan wilayah pengelolaan perikanan yang selanjutnya
disingkat WPPNRI. Permasalahan akan muncul ketika batas-batas ZEE tidak
ditetapkan, karena ZEE merupakan bagian dari WPPNRI sehingga WPPNRI yang
ditetapkan menjadi tidak tegas dan berdampak pada penegakan hukum di laut
(Nugraha & Imran, 2014). Sehingga akan menghambat keberlangsungan SDGs 14
yang telah disepakati. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji urgensi penetapan
ZEE Indonesia untuk mendukung keberlangsungan SDGs 14, yang meliputi aspek
legal, teknis, dan kelembagaan. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini
berupa studi literatur ilmiah yang berhubungan dengan penyusunan tesis. Hasil dari
penelitian ini dibagi menjadi 3 kajian, pertama berdasarkan aspek teknis ditemukan
perbedaan antara ZEE terbaru dengan WPPNRI yang berlaku. Dari aspek legal
ditemukan bahwa peraturan yang berlaku saat ini tidak berjalan secara efektif untuk
mengurangi pelanggaran pelanggaran yang dapat menghambat keberlangsungan
SDGs 14. Terakhir dari aspek kelembagaan, terdapat tiga instansi yang berwenang
dalam penegakan hukum di laut yaitu KKP, BAKAMLA, dan TNI AL. Ketiga
lembaga ini perlu melakukan integrasi dan kolaborasi dalam penentuan kebijakan
dalam pencegahan dan penegakan hukum untuk pelanggaran di laut.