digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Reza Hikmahtiar
PUBLIC Open In Flipbook Ridha Pratama Rusli

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara masih menjadi tulang punggung produksi energi listrik di Indonesia. Namun, PLTU batubara juga merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, sehingga perlu dicari solusi teknis dan lingkungan untuk mengurangi dampak negatifnya. Salah satu strategi yang layak adalah penerapan teknologi co-firing, yaitu substitusi parsial batubara dengan biopelet biomassa dalam proses pembakaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh co-firing biopelet limbah organik lokal sebagai bahan bakar alternatif dalam meningkatkan efisiensi termal sekaligus menekan emisi polutan pada PLTU berbasis batubara. Simulasi termokimia dilakukan menggunakan perangkat lunak Aspen Plus v14 dengan laju aliran bahan bakar tetap pada 100 kg/jam dan rasio udara berlebih (excess air ratio) sebesar 1,2. Fraksi massa biopelet dalam campuran bervariasi mulai dari 0% hingga 35%, sedangkan sisanya adalah batubara bituminus jenis lokal. Model simulasi disusun melalui tiga tahap utama: pengeringan, devolatilisasi, dan pembakaran gas. Validasi model dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi terhadap data eksperimental dari literatur, sehingga prediksi performa pembakaran dan emisi dianggap valid. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan biopelet menyebabkan penurunan temperatur gas buang (Flue Gas Temperature / FGT ) dari 840 °C menjadi 779 °C pada substitusi 25% biopelet, meskipun penurunan ini tidak secara signifikan memengaruhi stabilitas nyala api atau efisiensi boiler jika parameter operasional lainnya dioptimalkan. Emisi NO? turun sebesar 42,7%, SO? menurun dari 210 ppm menjadi 125 ppm, dan kadar CO juga mengalami penurunan dari 3.350 ppm menjadi 417–755 ppm, menunjukkan bahwa pembakaran lebih sempurna dan ramah lingkungan. Di sisi lain, massa fraksi CO? dalam gas buang meningkat dari 0,0435 menjadi 0,0443 , namun emisi karbon bersih tetap menurun karena biomassa dianggap netral karbon. Massa fraksi H?O naik dari 0,0876 menjadi 0,0906, sedangkan O? residual meningkat dari 0,1049 menjadi 0,1104, menjadikan tren ini sebagai indikator peningkatan kelengkapan reaksi pembakaran. Efisiensi pembakaran meningkat secara bertahap dari 84,7% pada pembakaran batubara murni menjadi 92% pada substitusi 35% biopelet, menunjukkan bahwa co-firing memberikan manfaat teknis dalam hal konversi energi. Peningkatan efisiensi ini didukung oleh karakteristik biopelet yang memiliki kadar zat terbang tinggi (72–78%), distribusi partikel yang lebih homogen, serta sifat mudah terbakar (high combustibility). Meskipun secara absolut kadar CO? dalam gas buang meningkat, secara ekologis emisi karbon netral biomassa membuat teknologi ini relevan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dari perspektif lingkungan, cofiring berhasil menurunkan emisi polutan seperti NO?, SO?, dan CO, yang merupakan penyebab utama pencemaran udara dan hujan asam. Dengan demikian, teknologi ini mendukung pemenuhan standar emisi nasional, seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 15 Tahun 2019. Selain itu, peningkatan efisiensi pembakaran membantu mengurangi konsumsi batubara dan meningkatkan ketahanan energi nasional melalui pemanfaatan sumber daya lokal. Analisis keseluruhan menegaskan bahwa co-firing biopelet kayu limbah memiliki potensi besar untuk diterapkan dalam skema transisi energi. Teknologi ini tidak hanya meningkatkan kualitas pembakaran, tetapi juga mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 7 – Energi Bersih dan Terjangkau dan SDG 13 – Aksi Iklim). Oleh karena itu, co-firing dapat menjadi langkah strategis dalam dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan tanpa mengorbankan keandalan pasok listrik.