Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara masih menjadi tulang
punggung produksi energi listrik di Indonesia. Namun, PLTU batubara juga
merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, sehingga perlu dicari
solusi teknis dan lingkungan untuk mengurangi dampak negatifnya. Salah satu
strategi yang layak adalah penerapan teknologi co-firing, yaitu substitusi parsial
batubara dengan biopelet biomassa dalam proses pembakaran.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh co-firing biopelet limbah
organik lokal sebagai bahan bakar alternatif dalam meningkatkan efisiensi termal
sekaligus menekan emisi polutan pada PLTU berbasis batubara. Simulasi
termokimia dilakukan menggunakan perangkat lunak Aspen Plus v14 dengan laju
aliran bahan bakar tetap pada 100 kg/jam dan rasio udara berlebih (excess air ratio)
sebesar 1,2. Fraksi massa biopelet dalam campuran bervariasi mulai dari 0% hingga
35%, sedangkan sisanya adalah batubara bituminus jenis lokal. Model simulasi
disusun melalui tiga tahap utama: pengeringan, devolatilisasi, dan pembakaran gas.
Validasi model dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi terhadap data
eksperimental dari literatur, sehingga prediksi performa pembakaran dan emisi
dianggap valid.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan biopelet menyebabkan penurunan
temperatur gas buang (Flue Gas Temperature / FGT ) dari 840 °C menjadi 779 °C
pada substitusi 25% biopelet, meskipun penurunan ini tidak secara signifikan
memengaruhi stabilitas nyala api atau efisiensi boiler jika parameter operasional
lainnya dioptimalkan. Emisi NO? turun sebesar 42,7%, SO? menurun dari 210 ppm
menjadi 125 ppm, dan kadar CO juga mengalami penurunan dari 3.350 ppm
menjadi 417–755 ppm, menunjukkan bahwa pembakaran lebih sempurna dan
ramah lingkungan. Di sisi lain, massa fraksi CO? dalam gas buang meningkat dari
0,0435 menjadi 0,0443 , namun emisi karbon bersih tetap menurun karena biomassa
dianggap netral karbon. Massa fraksi H?O naik dari 0,0876 menjadi 0,0906, sedangkan O? residual meningkat dari 0,1049 menjadi 0,1104, menjadikan tren ini
sebagai indikator peningkatan kelengkapan reaksi pembakaran.
Efisiensi pembakaran meningkat secara bertahap dari 84,7% pada pembakaran
batubara murni menjadi 92% pada substitusi 35% biopelet, menunjukkan bahwa
co-firing memberikan manfaat teknis dalam hal konversi energi. Peningkatan
efisiensi ini didukung oleh karakteristik biopelet yang memiliki kadar zat terbang
tinggi (72–78%), distribusi partikel yang lebih homogen, serta sifat mudah terbakar
(high combustibility). Meskipun secara absolut kadar CO? dalam gas buang
meningkat, secara ekologis emisi karbon netral biomassa membuat teknologi ini
relevan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dari perspektif lingkungan, cofiring
berhasil menurunkan emisi polutan seperti NO?, SO?, dan CO, yang
merupakan penyebab utama pencemaran udara dan hujan asam. Dengan demikian,
teknologi ini mendukung pemenuhan standar emisi nasional, seperti yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 15
Tahun 2019. Selain itu, peningkatan efisiensi pembakaran membantu mengurangi
konsumsi batubara dan meningkatkan ketahanan energi nasional melalui
pemanfaatan sumber daya lokal. Analisis keseluruhan menegaskan bahwa co-firing
biopelet kayu limbah memiliki potensi besar untuk diterapkan dalam skema transisi
energi. Teknologi ini tidak hanya meningkatkan kualitas pembakaran, tetapi juga
mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 7 – Energi
Bersih dan Terjangkau dan SDG 13 – Aksi Iklim). Oleh karena itu, co-firing dapat
menjadi langkah strategis dalam dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan tanpa
mengorbankan keandalan pasok listrik.
Perpustakaan Digital ITB