Inkulturasi merupakan sebuah proses perjumpaan antar budaya yang menghasilkan kebudayaan
baru yang membawa ciri-ciri dari kebudayaan asal. Salah satunya adalah pertemuan antara nilainilai kekristenan yang dibawa oleh bangsa barat dengan kebudayaan lokal yang melahirkan pola inkulturasi yang berbeda-beda termasuk arsitektur. Tujuan penelitian adalah memetakan polapola inkulturasi arsitektur pada gereja-gereja Katolik dan Protestan, jalur-jalur di mana inkulturasi terjadi serta keadaan-keadaan khusus di mana inkulturasi dapat tumbuh. Untuk mengamati proses inkulturasi pada rona yang berbeda-beda, dipilih lokasi penelitian di Bali dan Jawa Tengah. Penelitian dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama adalah pengumpulan informasi sekunder untuk mengetahui sejarah serta berbagai aspek inkulturasi. Bentuk kegiatannya berupa studi pustaka dan wawancara yang memberikan masukan bagi keseluruhan proses. Selama tahapan awal ini dilakukan kunjungan singkat ke lapangan penelitian untuk menggali informasi awal serta menentukan objek-objek studi gereja-gereja, pada tingkat paroki/jemaat dengan tujuan konfirmasi informasi serta memperoleh gambaran mengenai objek serta komunitas yang akan diteliti. Lokasi ditetapkan di Pulau Bali, Solo, Karanganyar, Klaten dan Sragen untuk Pulau Jawa. Berikutnya adalah penelitian lapangan. Dalam kasus ini akan diterapkan field study dengan metode observasi partisipasi terbatas. Bersamaan dengan ini, analisis mulai dibangun. Informasi berupa data teks dan citra dikumpulkan, distrukturkan, kemudian sebagian dikuantitatifkan. Persepsi masyarakat akan lingkungan fisik maupun non fisiknya digali melalui wawancara. Tahap terakhir adalah penyempurnaan dan penyusunan laporan. Hasil penelitian berupa gambaran proses inkulturasi dari beberapa daerah dengan identitas lokal yang berbeda, ciri-ciri khusus yang menyertainya serta tahapan-tahapan inkulturasi yang dilaluinya beserta agen-agen yang terlibat.
Penelitian disertasi ini memperlihatkan bahwa di Indonesia inkulturasi arsitektur gereja sudah terjadi jauh sebelum dibakukan dan didorong melalui keputusan-keputusan formal. Inkulturasi terjadi melalui upaya-upaya para aktor di lapangan, dalam hal ini jemaat sebagai sumber konsep, teolog yang meramu konsep teologis serta arsitek dan ahli bangunan yang menyumbangkan gagasan-gagasan teknis. Ide dan gagasan digali semenjak fase baseline of inculturation dari keseharian jemaat, berkembang melalui suatu periode pematangan hingga akhirnya mewujud dalam bentuk gedung dan lingkungan gereja. Dalam transformasi yang berkelanjutan, jemaat mengambil kesenian lokal dan memasukkannya ke dalam liturgi untuk memperkaya keragaman di dalam hidup bergereja. Pola Inkulturasi gereja yang terbentuk dapat ibedakan berdasarkan tarafnya, dari yang terendah hingga tertinggi; adaptasi, akulturasi, asimilasi dan transformasi sesuai dengan teori inkulturasi yang dikemukakan Crollius (1984). Masing-masing taraf memiliki karakteristik yang khas. Penelitian ini menguatkan teori Crollius sekaligus menyempurnakannya. Jika inkulturasi menurut Crollius berjalan secara linier, temuan di lapangan menyiratkan adanya lompatan-lompatan yang diakibatkan sifat progresif dari aktor. Pada akhirnya diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan kepada wacana inkulturasi arsitektur, sekaligus juga berkontribusi pada gereja dalam hidup bermasyarakat.