digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Sugeng Riyadi
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Sugeng Riyadi
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Sugeng Riyadi
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Sugeng Riyadi
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Sugeng Riyadi
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Sugeng Riyadi
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

Indonesia merupakan salah satu negara yang fokus pada pembangunan infrastruktur untuk mendukung konektivitas kawasan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di seluruh tanah air. Ambisi pemerintah tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020–2024) dan Visi Indonesia 2045, di mana pembangunan jalan, jembatan, rel kereta api, transportasi umum, sistem pengairan, dan sanitasi menjadi tujuan prioritas negara. Sebagai bagian dari masyarakat global, pemerintah Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui LTS-LCCR-2050. Komitmen ini mendorong pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur dengan tetap menjaga penyediaan produk ramah lingkungan seperti Polymer Modified Bitumen (PMB) yang mampu memberikan kinerja yang lebih baik dalam hal sifat mekanik serta pengurangan emisi karbon dalam produksi dan proses konstruksi. Namun, beberapa manfaat yang diberikan oleh Polymer Modified Bitumen (PMB) menyebabkan biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bitumen yang tidak dimodifikasi karena proses produksi tambahan. Proses tambahan ini menyebabkan harga jual PMB lebih tinggi dibandingkan dengan aspal yang tidak dimodifikasi. Oleh karena itu, pemilihan teknologi yang tepat untuk menghasilkan PMB sangat penting bagi perusahaan untuk memastikan kemampuan menghasilkan harga jual PMB yang terjangkau dan memastikan daya saing pasarnya dengan tetap mempertahankan keuntungan yang positif. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan teknik capital budgeting melalui pendekatan discounted cash flow berdasarkan berbagai skenario untuk Fasilitas produksi yang tidak bergerak (low shear dan high shear) dan failitas produksi bergerak (Mobile Production Plant). Analisis Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan, dan Hukum (PESTEL), Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat (SWOT), Valuable, Rare, Imitation, dan Organized (VRIO), dan analisis Porter’s five forces juga digunakan untuk memastikan bahwa faktor internal dan eksternal yang dapat memengaruhi keberlanjutan bisnis bisa diidentifikasi dan potensi risiko dapat dimitigasi. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat sensitivitas bisnis akibat perubahan asumsi pada Capital Expenditures (CAPEX), Operating Expenditures (OPEX), harga jual, dan volume proyeksi pasar. Analisis menunjukkan bahwa pemilihan teknologi untuk produksi aspal yang dimodifikasi sangat penting untuk menentukan keberlanjutan bisnis untuk pasar PMB. Fasilitas produksi PMB yang tidak bergerak dengan teknologi Low Shear memiliki NPV sebesar IDR 186.573.816.286 dengan IRR sebesar 75,90%. Fasilitas produsi PMB yang tidak bergerak dengan High Shear memiliki NPV sebesar IDR 179.179.736.676 dengan IRR sebesar 62,39%, dan Fasilitas produksi PMB yang bergerak memiliki NPV sebesar IDR 243.276.282.784 dengan IRR sebesar 68,37%. Disamping keuntungan secara ekonomis, pemakaian PMB juga memberikan tambahan keuntungan melalui pengurangan Gas Rumah Kaca sebesar 16.99% dibandingkan bitumen non-modifikasi dikarenakan kebutuhan lapisan yang lebih tipis. Meskipun kinerja ekonomi proyek menarik, menurut analisis sensitivitas, proyek memiliki faktor-faktor kritis pada harga PMB dan pangsa pasar, di mana setiap perubahan signifikan yang terjadi pada 2 aspek ini dapat menyebabkan pergeseran kinerja ekonomi proyek. Berdasarkan analisis di atas, direkomendasikan bahwa Fasilitas Produksi PMB bergerak adalah teknologi yang tepat untuk dipilih oleh perusahaan untuk mendukung pembangunan infrastruktur Indonesia karena kemampuan fasilitas untuk ditingkatkan sesuai kebutuhan proyek, membutuhkan CAPEX paling sesuai dan memberikan fleksibilitas paling tinggi dibandingkan teknologi lain untuk mobilisasi dan demobilisasi. Fasilitas Produksi PMB bergerak ini memberikan opsi yang paling layak untuk dimobilisasi ke lokasi proyek mana pun, terutama di Indonesia, sebagai negara kepulauan di mana beberapa lokasi terpencil masih memiliki infrastruktur yang minimum.