COVER Dyah Meita Retno Murti
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza BAB 1 Dyah Meita Retno Murti
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza BAB 2 Dyah Meita Retno Murti
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza BAB 3 Dyah Meita Retno Murti
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza BAB 4 Dyah Meita Retno Murti
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza PUSTAKA Dyah Meita Retno Murti
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza
Pengadaan secara umum didefinisikan sebagai proses pembelian barang, jasa dan pekerjaan (konstruksi), oleh pemerintah. Sebagai entitas pengadaan, institusi pemerintah diharapkan melakukan proses dengan standar kualitas yang tinggi, melaporkannya secara transparan dan memastikan efisiensi dan efektivitasnya, berdasarkan prinsip Value for Money. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia terus mengembangkan sistem pengadaan, yang dipimpin oleh Lembaga Kebijakan Pengelolaan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). Sistem e-procurement dibangun dengan cakupan seluruh siklus, transaksional, dan regulasi pengadaan diperbarui sebagai adaptasi dari arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk mengevaluasi tata kelola proses pengadaan, LKPP menetapkan perangkat indikator kinerja yang mencerminkan tata kelola pengadaan internal sebuah entitas pengadaan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2021. Selain itu, Indikator ini juga berfungsi sebagai alat ukur pelaksanaan reformasi birokrasi, yang bersifat wajib untuk kementerian/lembaga pemerintah, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memotret tata kelola pengadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan berdasar Surat Edaran Kepala Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Umum Nomor 2 Tahun 2021. Root cause analysis dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan internal yang mempengaruhi kinerja pengadaan. Hambatan-hambatan ini dikuatirkan akan mempengaruhi kelangsungan pengadaan itu sendiri. 25 praktisi pengadaan publik internal dan pemangku kepentingan berpartisipasi dalam penelitian ini. Sejumlah permasalahan dapat diidentifikasi, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan Situation Appraisal Kepner-Tregoe. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan strategi pengadaan publik yang harus diterapkan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menentukan kebenaran bobot indicator, serta untuk mengusulkan solusi agar diperoleh kinerja yang optimal. Model AHP Indeks tata Kelola Pengadaan Minimal Baik yang dibangun terdiri dari 3 kriteria dan 2 kelompok Sub Kriteria. Kriterianya adalah Pemanfaatan Sistem Informasi Pengadaan, Kualifikasi dan Kompetensi SDM serta Tingkat Kematangan UKPBJ. Kelompok sub kriteria pertama terdiri dari 5 sub kriteria yaitu Pemanfaatan SiRUP, Pemanfaatan e-Tendering/e-Seleksi. Pemanfaatan e-Purchasing, Pemanfaatan Non e-Tendering/e-Selection, dan Pemanfaatan e-Contract. Kelompok sub kriteria kedua, terdiri dari 9 sub kriteria, yaitu Manajemen Pengadaan, Manajemen Penyedia, Manajemen Kinerja, Manajemen Risiko, Pengorganisasian, Tugas dan Fungsi, Perencanaan Sumber Daya Manusia, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Sistem Informasi.
Hasil perhitungan AHP menunjukkan bobot indikator yang relatif sama, yaitu Pemanfaatan Sistem Informasi Pengadaan (0,31045), Kualifikasi dan Kompetensi Sumber Daya Manusia (0,35676) dan Tingkat Kematangan UKPBJ (0,33280). Pada sub kriteria klaster pertama, Pemanfaatan SiRUP dianggap sebagai proses yang paling signifikan (0,23881), sedangkan pada sub kriteria klaster kedua, Pengembangan Sumber Daya Manusia memainkan proses yang paling signifikan (0,13446).
Alternatif diolah untuk mendapatkan peringkat. Pemeringkatan dan pengolahan AHP pada kelompok Alternatif berguna untuk menentukan solusi masalah bisnis. Dari hasil pengolahan, peningkatan kapabilitas terbukti menjadi alternatif utama untuk memecahkan masalah (0,167354).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menentukan strategi pengadaan publik mana yang harus diterapkan untuk mencapai hasil Indeks Tata Kelola Pengadaan yang optimal.