digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


BAB 1 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 2 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 3 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 4 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 5 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 6 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

BAB 7 Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira


PUSTAKA Christin Dameria
PUBLIC Yoninur Almira

Konsep sense of place, ikatan positif antara manusia dan tempat mereka menetap atau beraktivitas, telah dianggap penting dalam kajian pelestarian kawasan cagar budaya di perkotaan, tetapi konsep tersebut umumnya dipahami secara satu dimensi dan untuk penciptaan tempat saja. Kajian pengaruh sense of place secara multidimensi pada perilaku aktor, yaitu individu pemilik bangunan kuno dan pengunjung di kawasan cagar budaya perkotaan, dalam melestarikan cagar budaya masih terbatas. Kajian-kajian tersebut umumnya menyatakan bahwa semua dimensi dalam sense of place berpotensi menjadi anteseden penting untuk perilaku melestarikan, yaitu niat melakukan tindakan-tindakan yang mendukung kelestarian kawasan cagar budaya perkotaan. Belum banyak yang memahami hubungan sense of place sebagai konsep sikap tiga dimensi, yaitu place identity (sikap kognitif), place attachment (sikap afektif), dan place dependence (sikap konatif), dengan perilaku melestarikan. Pemahaman tersebut umumnya lebih berkembang dalam literatur perlindungan kawasan alami dengan keyakinan bahwa place attachment adalah dimensi sense of place yang berpengaruh kuat terhadap perilaku melestarikan. Pemahaman mengenai pengaruh dimensi sense of place terhadap perilaku melestarikan aktor dalam konteks kawasan cagar budaya perkotaan masih belum jelas, padahal hal tersebut penting bagi keberlanjutan pelestarian kawasan cagar budaya perkotaan. Untuk itu, studi ini menyelidiki pengaruh masing-masing dimensi sense of place, yaitu place identity, place attachment, dan place dependence (sebagai variabel bebas) terhadap setiap dimensi perilaku melestarikan di kawasan cagar budaya perkotaan (sebagai variabel terikat). Perilaku melestarikan adalah konsep respons dua dimensi, yaitu perilaku umum (perilaku dalam rutinitas sehari-hari) dan perilaku khusus (perilaku dengan upaya spesifik). Kawasan Kota Lama Semarang (KKLS) sebagai kawasan cagar budaya yang menjadi destinasi pariwisata di Kota Semarang dipilih menjadi lokasi studi. Aktor yang menjadi responden adalah individu pemilik bangunan kuno dan pengunjung terpilih yang sesuai kriteria. Studi ini menggunakan paradigma pragmatisme dan metode penelitian campuran (eksplanatoris sekuensial) dengan metode kuantitatif pada tahap pertama dan metode kualitatif pada tahap kedua. Tahap pertamaii (kuantitatif) menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner tertutup dengan format Likert-type items. Pemilik bangunan mengisi kuesioner tertulis yang diberikan langsung, sedangkan pengunjung mengisi kuesioner daring. Analisis data memakai teknik statistik deskriptif. Kekuatan dimensi sense of place dan perilaku melestarikan diukur berdasarkan nilai median dan proporsi sebaran jawaban. Kekuatan pengaruh dimensi sense of place pada dimensi perilaku melestarikan diukur berdasarkan kekuatan korelasi variabel antar dimensi, menggunakan metode Somers’d. Tahap kedua (kualitatif) bertujuan mengkonfirmasi hasil analisis tahap pertama. Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif yang telah didapatkan, dikembangkan wawancara semiterstruktur dengan informan pendukung, yaitu pihak yang berinteraksi dan memiliki pengetahuan tentang aktor di KKLS. Dalam proses analisis kualitatif, data direduksi dan dikategorisasikan. Hasil tahap pertama dan kedua kemudian disampaikan secara naratif-deskriptif. Studi ini menemukan: (1) aktor memiliki ketiga dimensi sense of place karena keunikan sejarah (warisan budaya tak berwujud) dan bangunan-bangunan kuno (warisan budaya berwujud) yang dimiliki oleh kawasan. Namun, karakter sense of place aktor berbeda. Bagi pemilik bangunan, place identity adalah dimensi terkuat. Makna yang diberikan masih berfokus pada bangunan kuno yang dimiliki. Bagi pengunjung, place attachment merupakan dimensi terkuat. Pengunjung tertarik pada fisik kawasan, tetapi menganggap warisan budaya sebagai objek sekunder; (2) para aktor telah memiliki kedua dimensi perilaku melestarikan, tetapi cenderung lebih berniat melakukan perilaku umum, daripada perilaku khusus; (3) hanya keakraban pemilik bangunan dengan lingkungan sosial dalam place identity yang berhubungan kuat dengan niat untuk terlibat dengan komunitas lokal dalam perilaku melestarikan khusus (nilai koefisien korelasi +0,6). Berbeda dengan kajian-kajian berkonteks sama sebelumnya, hanya place identity pemilik bangunan dalam studi ini yang berpotensi menjadi antaseden penting untuk perilaku melestarikan khusus. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan faktor kontekstual kawasan, yaitu profil setting dan individu aktor. Dalam studi ini, permasalahan lingkungan, pendekatan pelestarian berbasis material yang menimbulkan konflik, pemilik bangunan yang dipengaruhi budaya urban, serta aktivitas pasif pengunjung melemahkan pengaruh dimensi sense of place terhadap perilaku melestarikan. Hasil studi ini membuktikan bahwa dukungan sense of place dalam pelestarian tidak hanya untuk penciptaan tempat saja. Sense of place yang dipahami secara multidimensi lebih memberikan pemahaman yang komprehensif sehingga mampu menunjukkan pentingnya mengintegrasikan place identity pemilik bangunan dalam substansi pelestarian kawasan cagar budaya perkotaan. Untuk meningkatkan kekuatan pengaruh dimensi sense of place pada perilaku melestarikan, praktik pelestarian kawasan cagar budaya membutuhkan kebijakan yang menempatkan masyarakat lokal sebagai inti pelestarian dengan melibatkan pemilik bangunan kuno dan menguatkan peran komunitas lokal.