Konsep sense of place, ikatan positif antara manusia dan tempat mereka menetap
atau beraktivitas, telah dianggap penting dalam kajian pelestarian kawasan cagar
budaya di perkotaan, tetapi konsep tersebut umumnya dipahami secara satu dimensi
dan untuk penciptaan tempat saja. Kajian pengaruh sense of place secara
multidimensi pada perilaku aktor, yaitu individu pemilik bangunan kuno dan
pengunjung di kawasan cagar budaya perkotaan, dalam melestarikan cagar budaya
masih terbatas. Kajian-kajian tersebut umumnya menyatakan bahwa semua dimensi
dalam sense of place berpotensi menjadi anteseden penting untuk perilaku
melestarikan, yaitu niat melakukan tindakan-tindakan yang mendukung kelestarian
kawasan cagar budaya perkotaan. Belum banyak yang memahami hubungan sense
of place sebagai konsep sikap tiga dimensi, yaitu place identity (sikap kognitif),
place attachment (sikap afektif), dan place dependence (sikap konatif), dengan
perilaku melestarikan. Pemahaman tersebut umumnya lebih berkembang dalam
literatur perlindungan kawasan alami dengan keyakinan bahwa place attachment
adalah dimensi sense of place yang berpengaruh kuat terhadap perilaku
melestarikan.
Pemahaman mengenai pengaruh dimensi sense of place terhadap perilaku
melestarikan aktor dalam konteks kawasan cagar budaya perkotaan masih belum
jelas, padahal hal tersebut penting bagi keberlanjutan pelestarian kawasan cagar
budaya perkotaan. Untuk itu, studi ini menyelidiki pengaruh masing-masing
dimensi sense of place, yaitu place identity, place attachment, dan place
dependence (sebagai variabel bebas) terhadap setiap dimensi perilaku melestarikan
di kawasan cagar budaya perkotaan (sebagai variabel terikat). Perilaku melestarikan
adalah konsep respons dua dimensi, yaitu perilaku umum (perilaku dalam rutinitas
sehari-hari) dan perilaku khusus (perilaku dengan upaya spesifik).
Kawasan Kota Lama Semarang (KKLS) sebagai kawasan cagar budaya yang
menjadi destinasi pariwisata di Kota Semarang dipilih menjadi lokasi studi. Aktor
yang menjadi responden adalah individu pemilik bangunan kuno dan pengunjung
terpilih yang sesuai kriteria. Studi ini menggunakan paradigma pragmatisme dan
metode penelitian campuran (eksplanatoris sekuensial) dengan metode kuantitatif
pada tahap pertama dan metode kualitatif pada tahap kedua. Tahap pertamaii
(kuantitatif) menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner tertutup dengan
format Likert-type items. Pemilik bangunan mengisi kuesioner tertulis yang
diberikan langsung, sedangkan pengunjung mengisi kuesioner daring. Analisis data
memakai teknik statistik deskriptif. Kekuatan dimensi sense of place dan perilaku
melestarikan diukur berdasarkan nilai median dan proporsi sebaran jawaban.
Kekuatan pengaruh dimensi sense of place pada dimensi perilaku melestarikan
diukur berdasarkan kekuatan korelasi variabel antar dimensi, menggunakan metode
Somers’d. Tahap kedua (kualitatif) bertujuan mengkonfirmasi hasil analisis tahap
pertama. Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif yang telah didapatkan,
dikembangkan wawancara semiterstruktur dengan informan pendukung, yaitu
pihak yang berinteraksi dan memiliki pengetahuan tentang aktor di KKLS. Dalam
proses analisis kualitatif, data direduksi dan dikategorisasikan. Hasil tahap pertama
dan kedua kemudian disampaikan secara naratif-deskriptif.
Studi ini menemukan: (1) aktor memiliki ketiga dimensi sense of place karena
keunikan sejarah (warisan budaya tak berwujud) dan bangunan-bangunan kuno
(warisan budaya berwujud) yang dimiliki oleh kawasan. Namun, karakter sense of
place aktor berbeda. Bagi pemilik bangunan, place identity adalah dimensi terkuat.
Makna yang diberikan masih berfokus pada bangunan kuno yang dimiliki. Bagi
pengunjung, place attachment merupakan dimensi terkuat. Pengunjung tertarik
pada fisik kawasan, tetapi menganggap warisan budaya sebagai objek sekunder; (2)
para aktor telah memiliki kedua dimensi perilaku melestarikan, tetapi cenderung
lebih berniat melakukan perilaku umum, daripada perilaku khusus; (3) hanya
keakraban pemilik bangunan dengan lingkungan sosial dalam place identity yang
berhubungan kuat dengan niat untuk terlibat dengan komunitas lokal dalam
perilaku melestarikan khusus (nilai koefisien korelasi +0,6).
Berbeda dengan kajian-kajian berkonteks sama sebelumnya, hanya place identity
pemilik bangunan dalam studi ini yang berpotensi menjadi antaseden penting untuk
perilaku melestarikan khusus. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan faktor
kontekstual kawasan, yaitu profil setting dan individu aktor. Dalam studi ini,
permasalahan lingkungan, pendekatan pelestarian berbasis material yang
menimbulkan konflik, pemilik bangunan yang dipengaruhi budaya urban, serta
aktivitas pasif pengunjung melemahkan pengaruh dimensi sense of place terhadap
perilaku melestarikan. Hasil studi ini membuktikan bahwa dukungan sense of place
dalam pelestarian tidak hanya untuk penciptaan tempat saja. Sense of place yang
dipahami secara multidimensi lebih memberikan pemahaman yang komprehensif
sehingga mampu menunjukkan pentingnya mengintegrasikan place identity
pemilik bangunan dalam substansi pelestarian kawasan cagar budaya perkotaan.
Untuk meningkatkan kekuatan pengaruh dimensi sense of place pada perilaku
melestarikan, praktik pelestarian kawasan cagar budaya membutuhkan kebijakan
yang menempatkan masyarakat lokal sebagai inti pelestarian dengan melibatkan
pemilik bangunan kuno dan menguatkan peran komunitas lokal.