Wacana pelestarian dan cagar budaya telah berkembang dari masa ke masa, dan lingkup
kegiatan pelestarian mencakup lingkungan binaan maupun lingkungan alami. Dinamika zaman
menunjukkan bahwa, telah terjadi pergeseran paradigma di dalam kegiatan pelestarian, yakni
dari pendekatan pelestarian berbasis monumen, objek tunggal dan bersifat fisik menuju kepada
pendekatan berbasis lingkungan dan nilai atau nonfisik. Pelestarian berbasis kawasan juga
tidak lagi hanya untuk sekedar penghormatan terhadap romantisme sejarah masa lalu, tetapi
lebih kepada pertimbangan dan relevansi terhadap kebutuhan komunitas dan sekaligus pada
aspek-aspek keberlanjutan.
Berbeda dengan gagasan klasik dalam pelestarian, penetapan signifikansi budaya kini tidak
lagi dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan entitas fisik semata. Realitas menunjukkan
bahwa keberadaan cagar budaya tak utuh di dalam sebuah kawasan memiliki persoalan dan
membutuhkan pendekatan spesifik. Di dalam diskursus pengembangan kawasan urban,
pengelolaan cagar budaya tak utuh belum atau tidak dibahas dengan lengkap dalam ranah teori
maupun kebijakan pelestarian.
Desakan modernisasi mengancam kelestarian cagar budaya yang masih utuh sekalipun, apalagi
cagar budaya tak utuh dengan kondisi rusak, hancur dan hilang. Seiring dengan dinamika
pembangunan, maka pelestarian juga menghadapi ancaman konflik akibat kontestasi
kepentingan dan perbedaan persepsi baik dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik, maupun
lingkungan. Perspektif baru sangat diperlukan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam penetapan signifikansi budaya dan pengelolaan konflik bagi cagar
budaya tak utuh.
Berbasis kepada pemikiran terbaru dalam Expanding Heritage Discourse (EHD), maka
penelitian ini merumuskan gagasan baru berupa model konseptual pelestarian berbasis
kawasan bagi cagar budaya tak utuh. Penyusunan model ini didalami melalui studi kasus
Trowulan, kawasan ibu kota Kerajaan Majapahit (1293-1527). Walaupun telah ditetapkan
sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional tahun 2013, namun Trowulan yang didominasi oleh
cagar budaya tak utuh, terus menghadapi ancaman perusakan dan penghancuran cagar budaya
akibat beragam kontestasi.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif terhadap studi kasus
tunggal dan mendalam secara konstruktif dan interpretatif. Pengembangan teori dilakukan
berdasarkan pola makna dan interaksi yang terjadi dari konstruksi pemikiran subjek yang
diteliti. Teknik analisis sinkronik dan diakronik dilakukan dalam penelusuran sejarah untukmengidentifikasi aspek-aspek penetapan signifikansi budaya. Selanjutnya, penstrukturan
kontestasi menjadi landasan bagi pengelolaan konflik terhadap pelestarian. Terdapat dua opsi
perumusan keputusan, apakah kompromi dengan keselarasan pelestarian ataukah konflik yang
bertentangan dengan pelestarian. Keputusan bersama ditetapkan melalui proses koalisi
advokasi yang juga mempersiapkan bentuk-bentuk kegiatan dokumentasi apabila konflik tidak
bisa dihindarkan dan terjadi penghapusan pelestarian.
Secara akademis, model konseptual pelestarian berbasis kawasan merupakan kontribusi
penelitian disertasi dalam teori pelestarian bagi cagar budaya tak utuh. Penelitian ini
mencermati adanya pergeseran paradigma dalam perluasan wacana pelestarian yang membuka
pemahaman baru tentang pertimbangan dimensi nonfisik, pelibatan komunitas, serta perhatian
pada lingkungan. Di dalam keilmuan arsitektur, pelestarian tidak lagi menempatkan cagar
budaya sebagai objek tunggal semata. Namun demikian, untuk pemanfaatan cagar budaya bagi
masyarakat dan lingkungan, objek cagar budaya perlu didudukkan sebagai bagian dari
lingkungan yang lebih luas.
Pelestarian berbasis kawasan tidak terbatas pada aspek fisik (tangible), tetapi pertimbangan
terhadap aspek-aspek tak teraga (intangible) menjadi penting dalam pengelolaan rona (setting)
kawasan dan lingkungan yang kondisinya tidak utuh. Temuan penelitian ini juga menegaskan
kembali bahwa ada pergeseran dalam cara pikir yang semula lebih ditentukan oleh determinan
fisik kepada gagasan budaya yang diperlukan utntuk perlindungan terhadap cagar budaya tak
utuh.
Kebaruan dalam perspektif pelibatan dimensi nonfisik, persepsi masyarakat, serta
pertimbangan lingkungan menjadi legitimasi bagi pelestarian dan pengelolaan cagar budaya,
khususnya cagar budaya tak utuh. Penelusuran sejarah dalam penelitian ini dipakai sebagai
salah satu cara untuk mengidentifikasi aspek-aspek penetapan signifikansi budaya di
Trowulan, yakni aspek identitas, memori, dan arti sosial budaya